Secara
filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus
perjuangan. Seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh
karena itu kepentingan terbaik bagi anak menjadi pilihan yang harus diutamakan
dalam menangani anak yang bermasalah/yang berkonflik dengan hukum.
A.
PENDAHULUAN
Anak sebagai bagian
dari generasi muda merupakan mata rantai awal yang penting dan menentukan dalam
upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan negara. Namun apabila
anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah
baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku
di masyarakat. Dan perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus
pada perbuatan kriminal yang membutuhkan penanganan hukum secara serius,
khususnya perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.
Dewasa ini
kenakalan remaja semakin meningkat baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.Yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja
tersebut bukan kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan
kriminal, yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat
(khususnya tindak pidana kesusilaan).
Oleh karena itu, perlindungan hak-hak
anak jangan sampai diabaikan, untuk itu
diperlukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan bagi terpeliharanya
perlindungan hak-hak anak. Dalam hal ini prinsip kepentingan yang terbaik untuk
anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi yang utama.
Saat ini sudah ada
satu kerangka kerja hukum yang lengkap untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak anak. Perkembangan dalam bidang hukum yang paling penting adalah
dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Anak pada bulan Oktober 2002.
Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam
melaksanakan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Undang-Undang ini dibuat
berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak
Anak: non-diskriminasi, kepentingan
terbaik sang anak, hak untuk hidup, bertahan dan berkembang dan hak untuk berpartisipasi.
Didalamnya diatur hak-hak dasar anak untuk memperoleh identitas, kebebasan,
pendidikan, layanan kesehatan, hiburan dan perlindungan.
Sebagaimana
Undang-Undang pada umumnya, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diperlukan
guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap
hak-hak anak, mengingat:
1. Anak
adalah amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
2. Anak
adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan
mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara di masa depan.
3. Anak
perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan mempunyai akhlak yang
mulia.
4. Pada
kenyataannya masih terdapat banyak anak yang:
a.
Belum
terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi
b.
Masih
hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar,
apalagi memadai.
Selain itu
Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya
kewajiban bagi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak,
mengingat:
1. Kewajiban memberikan perlindungan
anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan
landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal
UUD 1945 atau dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang lain, agar dapat
menjamin pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat penanganan serta
sasaranna, yang harus dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga
dan orangtua anak.
2. Perlu adanya keseimbangan antara
perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak dalam kapasitas
mendidik anak. Oleh karena itu, disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak
menjadi salah asuh, salah arah, maka perlu ditujukkan juga kewajiban yang perlu
dilaksanakan oleh anak.
Lembaga peradilan
dalam hal ini mempunyai peranan penting
dalam menjamin perlindungan hak-hak anak, baik anak sebagai pelaku maupun anak
sebagai korban. Hakim sebagai pejabat yang mempunyai wewenang dalam memeriksa dan
memberikan putusan atas tindak pidana pemerkosaan
yang dilakukan anak terhadap anak di bawah umur, harus dapat
memberikan putusan yang tegas dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
pada umumnya serta hak-hak
anak yang menjadi
pelaku dan hak-hak anak
yang menjadi korban pada khususnya.
Hakim juga harus memperhatikan faktor-faktor mengenai hak asasi manusia,
serta menjadikan pidana secara operasional yang dapat diterima baik dari posisi
korban (anak)
maupun pelaku (anak). Walaupun dalam
menjalankan tugas kewenangannya, Hakim banyak menemui beberapa kendala khususnya terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan
oleh anak yang memiliki perlindungan hukum yang sama, namun Hakim yang memeriksa
perkara pemerkosaan harus dapat mempertimbangkan dalam putusannya untuk
mengatur tentang hak-hak anak yang menjadi korban dan hak-hak anak sebagai
pelakunya. Oleh karena itu diperlukan Hakim-Hakim yang handal
sehingga mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Kejahatan Pelecehan Seksual Antar Anak
Kejahatan
secara umum adalah perbuatan atau
tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia yang dinilai tidak baik,
tercela dan tidak patut dilakukan. Siapapun dapat menjadi pelaku dari
kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, orang dewasa atau orang yang
berusia lanjut baik laki-laki ataupun perempuan.
Menutur
Van Bemmelen, kejahatan adalah “tiap kelakuan
yang bersifat tindak susila yang merugikan yang menimbulkan begitu banyak
ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak
mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa
dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut”.[1]
Sementara
itu, menurut Bonger, “Setiap kejahatan bertentangan dengan kesusilaaan,
kesusilaan berakar dalam rasa sosial dan lebih dalam tertanam daripada agama,
kesusilaan merupakan salah satu kaidah pergaulan”[2]
Masa remaja marupakan masa dimana
seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, baik secara fisik
maupun emosinya belum stabil serta belum matang cara berfikirnya. Terutama pada
masa remaja biasannya mudah cemas, mudah tergoncang emosinya dan sangat peka
terhadap kritikan. Karena jiwanya yang belum stabil, terkadang mereka ingin
terlepas dari segala peraturan yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi,
mudah menerima pengaruh dari luar lingkunganya dan ingin hidup dengan gayanya
sendiri. Maka tidak heran jika banyak remaja yang berbuat nakal di tempat umum
seperti minum-minuman keras di pinggir jalan, mencoret-coret tembok,
kebut-kebutan dijalan umum, mencuri, melakukan hubungan seksual dengan teman
wanitanya dan sebagainya.
Kejahatan seksual (sexual crime)
terhadap anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak-anak (pelaku) terjadi
di banyak negara. Kejahatan seksual terhadap anak-anak terjadi di negara-negara
di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan
Indonesia. Dalam ilmu jiwa, masa transisi
dialami anak mulai usia 10 tahun, dalam bukunya, Soedarsono sependapat dengan Andi
Mapiere, yang mengutip Elisabeth B.
Harlock, yang membagi usia anak remaja yaitu masa puberitas pada usia 10
tahun atau 12 tahun sampai 13 tahun atau 14 tahun, masa remaja pada usia 13
tahun atau 14 tahun sampai 17 tahun, masa remaja akhir (masa dewasa muda) pada
usia 17 tahun sampai 21 tahun.
Dari
beberapa kasus yang terungkap yang pernah penulis sidangkan, kejahatan kesusilaan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi
psikologi, ada juga faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana pelecehan
seksual oleh anak yaitu karena anak tersebut tidak mendapat kasih sayang dari
orang tuanya, orang tua lupa diri sebagai orang tua karena terlalu sibuk, juga
disebabkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, pengaruh
lingkungan, kebebasan pergaulan akibat tidak mendapat perhatian orang tua di
rumah, adanya film dan video yang lepas sensor, bacaan-bacaan yang dapat
menimbulkan rangsangan dan pengaruh bagi yang membaca dan melihatnya, akibatnya
banyak terjadi penyimpangan seksual terutama oleh anak usia remaja yang dapat
merusak jiwa anak tersebut. Biasanya anak-anak praremaja
yang berpotensi sebagai korban dan pelaku pelecehan seksual.
Tindak
pelecehan seksual oleh anak yang terjadi merupakan suatu masalah yang
memerlukan perhatian khusus bagi pemerintah, oleh karena berkaitan dengan
moralitas para generasi bangsa. Belakangan ini banyak terjadi kasus
kejahatan pelecehan seksual terhadap anak, dimana pelakunya adalah anak-anak
dan kebanyakan adalah yang dikenal oleh korban. Aktivitas seksual anak remaja yang menyimpang sangat
memprihatinkan karena telah mengarah pada tindakan kriminal yang secara hukum
pidana telah menyalahi ketentuan undang-undang. Pelecehan seksual yang terjadi
pada anak-anak bukanlah suatu kasus baru dalam masyarakat, kebanyakan pelaku
kejahatan seksual itu adalah orang dewasa meski tidak sedikit pelakunya adalah
anak-anak usia remaja sampai menjelang dewasa.[3]
Korban
yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami hal yang sangat serius secara
fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh
korban antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara,
pingsan, meninggal, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual,
kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu, korban berpotensi untuk mengalami
trauma yang cukup parah membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat
dialami pada saat terjadi pelecehan seksual maupun sesudahnya. Goncangan
kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa
tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis jangka pendek maupun jangka
panjang. Proses penyembuhan korban dari trauma pelecehan seksual ini
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk
membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima.
2.
Diversi dan Restorative Justice
Penulis
sagat prihatin terhadap beberapa peristiwa yang muncul sehubungan dengan proses
hukum atas kasus pelecehan seksual dimana sang korban dan pelakuknya adalah
anak-anak. Pembelaan terhadap anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual yang
telah menjadi gerakan kolektif yang melibatkan organisasi/aktivis hak-hak anak
dan perempuan serta telah menjangkau secara luas elemen-elemem kemasyarakatan
lainnya, kerap kali tergelincir dan mengabaikan korban pelecehan seksual yang
nota bene juga anak-anak. Pada kasus ini disadari muncul persoalan dilematis
akibat perbenturan kepentingan. Disatu sisi, semangat perjuangan kolektif bagi
perlindungan anak dan perempuan dalam membela anak pelaku tidak pidana
pelecehan seksual telah menjadi gerakan besar dengan tuntutan hukuman
seringan-ringannya bagi para pelaku yang dijadikan sebagai salah satu indikator
cerminan keadilan anak
sebagai upaya pencegahan untuk pelaku dan calon pelaku lainnya menjadi pelaku
kriminal dewasa. Sedangkan disisi lain, diantara para korban terdapat anak-anak
sebagai korban kejahatan seksual yang dapat juga dikatagorikan sebagai anak
yang hak-haknya harus dilindungi.
Disini
penulis ingin mengingatkan kembali tentang pemahaman terhadap konsep diversi
dan restorative justice yang selalu dijadikan acuan bagi sebagian aparat
penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam menyelesaikan dan mengambil
putusan terhadap perkara kesusilaan antar anak. Kapan dan bagaimana seharusnya
diversi dan restorative justice dapat diterapkan dalam penanganan perkara anak
nakal?
2.1.
Diversi
Kritikan terhadap efektifitas penjara telah melahirkan
pemikiran-pemikiran baru dalam mencari alternatif hukuman untuk anak selain
penjara. Kebutuhan akan adanya alternatif hukuman selain pemenjaraan anak telah
menjadi perbincangan panjang di berbagai negara termasuk Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan itu, di banyak negara
dimulai dengan perubahan pendekatan keadilan ke arah pendekatan kesejahteraan.
Perampasan kebebasan atau pemenjaraan anak dianggap tidak mengedepankan
kepentingan terbaik untuk anak lantaran menyangkut stigmatisasi yang muncul di masyarakat
dan dampak digunakannya pendekatan pemenjaraan. Pendekatan-pendekatan dalam
menangani anak yang bermasalah dengan hukum telah banyak dieksplorasi dan
dibandingkan antara pendekatan satu dengan lainnya. Berbagai pendekatan
alternatif pun muncul dewasa ini dan sudah banyak digunakan oleh beberapa
negara dalam menangani juvenile
delinquency. Pendekatan alternatif penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum telah digunakan oleh beberapa negara antara lain Diversion dan Restorative Justice.
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion”
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan
anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission)
Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960 (Cunneen and White, 1995; 1).
Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk
seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya
peradilan anak (children’s JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
97courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana
formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).[4]
Diversi dilakukan
dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar
menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan
sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak
yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum
sebagai pihak penegak hukum. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan
menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat
penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion
atau dalam bahasa Indonesia diskresi.
Ada
tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu:
1. Pelaksanaan kontrol secara
social (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum
menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat,
dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku
menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya
kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan social oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri,
memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat
dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced
or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi
kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya
semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan
tindakan pada pelaku (Kratcoski, 2004; 160).
Terhadap pelaksanaan program diversi diatas, penulis
berpendapat polisi adalah pihak pertama yang merupakan titik persinggungan
dengan anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, pelaku tindak
kejahatan maupun sebagai saksi. Polisi sebagai penyidik Polri harus lebih peka
terhadap prosedur, pelaporan dan penyerahan anak-anak yang berhadapan dengan
hukum. Diversi dan Restorative Justice adalah alternative lain yang dapat
dilakukan oleh Polisi terhadap bentuk pemidanaan terhadap anak yaitu sanksi
pidana non panel (tindakan), dengan berpedoman pada:
a.
katagori tindak pidana yang
dilakukan anak yang diancam sanksi pidana s/d 1 (satu) tahun dapat diterapkan
diversi,
b.
katagori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana diatas 1 (satu) tahun
s/d 5 (lima) tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi (terhadap
perkara pidana ringan), dan
c.
anak kurang dari 12 (dua belas) tahun dilarang untuk ditahan dan penanganan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep
restorative justice (tetap harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku anak).
2.2. Restorative
Justice
Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MARI) sangat mendorong penggunaan metode restorative
justice dalam peradilan anak. Penerapan prinsip restorative justice ini agar
keseimbangan dalam masyarakat tidak terganggu, sehingga gangguan kepentingan
pelapor, korban dan masyarakat itu terpenuhi.
[5]
Manfaat restorative justice sendiri antara lain untuk meningkatkan
keterlibatan masyarakat dan kesadaran publik dalam upaya menyelesaikan
persoalan anak yang bermasalah dengan hukum; membuat pelaku bertanggung jawab
atas tindakannya dan membuat pelaku memahami dampak atas tindakannya serta
berusaha memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan; membantu meminimalkan
tingkat kejahatan karena tujuan utama restorative justice adalah
pemulihan sedangkan pembalasan adalah tujuan kedua.
Restorative
justice adalah suatu proses ketika semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk
bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat
dimasa mendatang. Keadilan untuk anak, adalah bagaimana restorative justice itu
diterapkan”.[6]
Definisi tersebut mensyaratkan
adanya suatu kondisi tertentu yang
menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam
merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan
fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula
dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat
ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya
sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan
restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran
pelaku.
Seluruh negara di Eropa
memiliki peraturan perundang-undangan tentang juvenile justice yang secara umum mendasarkan pada pendekatan
kesejahteraan (welfare approach).
Dengan pendekatan ini, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari proses
penghukuman oleh sistem peradilan pidana serta segala tindakan yang akan
diambil oleh negara dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anak tersebut
sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.[7]
Terdapat lima macam
pendekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran hukum usia
anak, yaitu:
1. pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan
anak,
2.
pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum,
3.
pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem
peradilan pidana semata,
4. pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman dan
5.
Pendekatan penghukuman yang murni bersifat
retributif.
Adanya kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak
terlepas dari pertentangan antara dua pendekatan dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan
kesejahteraan dengan pendekatan keadilan (yang lebih tua) dan juga mencerminkan
perubahan atau dinamika pemikiran masyarakat dalam memberikan respon terhadap
pelaku pelanggaran usia anak. Jika pendekatan
kesejahteraan merepresentasikan
keinginan Pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan anak-anak
sebagai pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut seperti mengobati
anak, pendekatan keadilan
merepresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang bertujuan menghukum
pelaku pelanggaran menurut derajat atau keseriusan atas akibat yang
ditimbulkannya.
Restorative justice berbeda dengan peradilan pidana biasa dalam beberapa
hal. Pertama, melihat tindakan
kriminal secara komprehensif. Tidak saja mendefinisikan kejahatan sebagai
pelanggaran hukum semata, namun memahami bahwa pelaku merugikan korban,
masyarakat bahkan dirinya sendiri. Kedua,
restorative justice melibatkan
banyak pihak dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas permasalahan
pemerintahan dan pelaku kejahatan, melainkan permasalahan korban dan
masyarakat. Terakhir, restorative justice mengukur kesuksesan dengan cara
yang berbeda, tidak hanya dari seberapa besar hukuman yang dijatuhkan, namun
juga mengukur seberapa besar kerugian yang dapat dipulihkan atau dicegah.
Mengingat prinsip dasar dalam menangani permasalahan
anak adalah demi tercapainya kepentingan yang terbaik untuk anak. Maka
pendekatan restorative justice adalah salah satu alternatif
yang dipandang baik dalam mencapai kepentingan tersebut. Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik
secara damai di luar Pengadilan. Khusus untuk Anak yang berkonflik dengan Hukum
(AKH), restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologi
anak harus diperhatikan. Dalam prosesnya, restorative justice tersebut akan
melibatkan korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya, wakil masyarakat,
dan didukung oleh lembaga swadaya masyarakat. Para pihak secara bersama-sama
melakukan musyawarah pemulihan dengan putusan sebisa mungkin tidak bersifat
menghukum dan lebih mengedepankan solusi dengan memperhatikan kepentingan
terbaik dari anak, korban, dan masyarakat.
Ada empat kriteria kasus AKH yang dapat diselesaikan dengan model
restorative justice. Pertama, kasus
itu tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak itu baru pertama kali
melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga,
kasus itu bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat,
atau cacat seumur hidup, dan keempat,
kasus tersebut bukan merupakan kejahatan kesusilaan yang serius yang menyangkut
kehormatan. Namun, apabila seorang anak yang dilaporkan dan ditangkap untuk
tindak pidana ringan, misalnya karena mengutil/pencurian ringan, perkelahian
ringan, tidak usahlah dipenjara, cukup panggil orangtuanya dan dinasihati. Penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan Hakim pun
tidak perlu menjatuhkan hukuman. Untuk kasus itu seharusnya tidak apa-apa jika
pihak penegak hukum melakukan diskresi (mengambil sikap sendiri).
Berdasarkan uraian tersebut
diatas, penulis berpendapat bahwa adanya upaya pelaksanaan diversi dan restorative justice ini tidak berarti bahwa
semua perkara anak harus dijatuhi putusan berupa tindakan dikembalikan kepada
orang tua, karena Hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu
yang telah penulis uraikan diatas. Tegasnya, diversi dan restorative justice
adalah hanya sebagai upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang
diatur dalam pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yaitu bahwa “penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir” terhadap
perkara-perkara anak yang ringan saja.
Setelah penulis menguraikan apa
yang terkandung dalam konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan
perkara anak (dalam kasus tertentu), maka Hakim dalam mengambil keputusan dalam
penanganan perkara kesusilaan antar anak (anak pelaku dan anak sebagai korban)
juga bisa lebih memperhatikan keadilan bagi anak sebagai korban pelecehan
seksual antar anak.
3. Putusan
Hakim dalam melindungi hak-hak anak sebagai korban pelecehan seksual antar anak
Meski
berdasarkan pemberitaan media masih didapatkan kesan kuat bahwa anak-anak yang
menjadi korban pelecehan seksual semakin meningkat, tampaknya perhatian dan
kepedulian pada kelompok ini juga masih terabaikan oleh para aktivis hak-hak
anak dan penegak hukum. Dengan kata lain, kita tentunya dapat dengan mudah
membayangkan bagaimana perhatian publik terhadap mereka. Organisasi atau
aktivis hak-hak anak dan penegak hukum yang bekerja untuk memberikan bantuan
hukum, monitoring dan menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
anak yang menjadi korban pelecehan seksual, sejauh ini bisa dikatakan belumlah
maksimal.
Permasalahan yang semakin
berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan yang bukan hanya
menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang
aktif dari seluruh lapisan masyarakat, orangtua dan penegak hukum. Penyelesaian
permasalahan tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian
perlindungan bagi anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban. Perhatian akan
perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang
hak-Hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam universal declaration of human right
tahun 1958. Bertitik tolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958
Majelis Umum PBB mengesahkan declaration of the rights of the child (deklarasi
Hak-Hak Anak). Perlakuan bagi anak yang berorientasi terhadap
perlindungan hak-hak bagi anak sudah merupakan kewajijban bagi seluruh bangsa
terutama para aparat penegak hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No.3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Undang-Undang tersebut merupakan jaminan pelaksanaan hak-hak anak
dibidang hukum.
Perlindungan anak yang dimaksud
oleh penulis dalam tulisan ini adalah Perlindungan Anak yang dimaksud dalam
pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UUPA), yaitu “segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Penulis
berpendapat bahwa perlindungan hukum terhadap anak adalah segala bentuk
perlindungan yang diberikan kepada anak yang tidak hanya kepada anak yang
berkonflik dengan hukum namun juga terhadap perlindungan bagi korban khususnya
korban kekerasan sebagaimana yang di maksud dalam
pasal 59 UUPA meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual, yang di lakukan
melalui upaya penyebarluasan sosialisasi ketentuan peraturan undang-undang yang
melindungi anak korban tindak kekerasan.
Sedangkan Pengertian anak adalah
yang terdapat dalam
pasal 1 butir 1
dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Penentuan batas
usia anak tersebut mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990. Dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak penentuan batas usia anak secara
tegas mencakup anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “anak yang masih dalam
kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu,
sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu
dilahirkan”. Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari
orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang
dikandung seseorang. Namun demikian dalam Konvensi Hak Anak tidak secara tegas dinyatakan
demikian.
Dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak pengertian anak TIDAK dibatasi
dengan syarat “dan belum pernah kawin”, tetapi didalam Undang-Undang yang lain
(UU Kesejahteraan Anak dan UU Pengadilan Anak misalnya) pengertian anak dibatasi
dengan syarat “dan belum pernah kawin”. Berdasarkan hal tersebut, penulis
berpendapat jelas terlihat bahwa UUPA dalam menentukan batas usia anak
menginginkan agar undang-undang ini dapat memberikan perlindungan kepada anak
secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang belum
kawin dimana persyaratan tersebut lebih menekankan pada segi legalistiknya,
sedangkan dalam Undang-Undang
Perlindungan
Anak
penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek melindungi
anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabatnya.
Anak yang
berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan system
peradilan pidana karena: a). disangka, didakwa atau dinyatakan terbukti
bersalah melanggar hukum, atau b). telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran yang
dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/Negara terhadapnya, atau c). telah
melihat, mendengar, merasakan atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran
hukum. Sekarang, bagaimana dengan penyelenggaraan
perlindungan anak di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak
yang menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur?
Seperti yang penulis utarakan
diatas bahwa perlindungan terhadap anak di Indonesia telah dijamin
keberadaannya oleh konstitusi yang telah mengamanahkan bahwa anak berhak untuk
dilindungi dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam bentuk
seksual. Sebagaimana tercantum dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Dengan adanya jaminan dalam konstitusi UUD
1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan
untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dengan
demikian, berdasarkan pasal 28B ayat (2) UUD 1945, negara dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk melindungi anak sebagi bagian dari warga negara
yang harus terus dipelihara masa depannya.
Jaminan perlindungan yang terkandung dalam Konvensi Hak
Anak, terjabarkan dalam peraturan perundangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan
Anak dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa “Pemerintah dan lembaga Negara
lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus
kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran” (Pasal 59 UUPA). Perlindungan khusus ini dilaksanakan
melalui pasal 64 ayat (2) UUPA yang dilaksanakan melalui:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan hak – hak anak;
b. Penyediaan
petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan
sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
e. Pemantauan
dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum;
f. Pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga, dan
g.Perlindungan dari pemberitaan identitas
melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang
dimaksud dengan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan
/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Undang-Undang memberikan perlindungan
pada saksi dan korban dalam semua tahap
proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang terdapat dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada dalam Pasal 3:
1. penghargaan atas harkat dan
martabat manusia;
2. rasa aman;
3. keadilan;
4. tidak diskriminatif; dan
5. kepastian hukum.
Konvensi Hak Anak juga memberikan jaminan perlindungan (Khusus) terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum. Hal ini terkandung dalam pasal 37 mengenai penyiksaan
dan perampasan kebebasan. Secara ringkas manyangkut, “ larangan terhadap
penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur
hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan. Prinsip-prinsip
penanganan yang tepat, pemisahan dari tahanan dewasa, hubungan dengan keluarga
dan akses terhadap bantuan hukum serta bantuan lainnya.“
Berdasarkan hal tersebut diatas,
bila dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang telah penulis
uraikan sebelumnya, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai
korban maupun sebagai pelaku wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah
dan tidak boleh ada diskriminasi.
Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi
dari pemerintah baik secara fisik maupun secara mental spiritual dan sosial,
selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan
dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab
pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk senantiasa
mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya, begitu pula
sebaliknya terhadap
seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Terhadap anak
yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak perlu ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak.
Sistem yang dimaksud adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau
komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu
atau beberapa asas[8], yang terdiri dari: a). Substansi Hukum (Legal Substance) berkenaan dengan
isi/materi hukum yang mengatur tentang peradilan anak. b). Struktur Hukum (Legal Structure) menyangkut
badan/lembaga yang menangani peradilan anak, yang terdiri dari: Badan
Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, lembaga Pemasyarakatan, Penasehat Hukum,
Pembimbing Kemasyarakatan, Lembaga Sosial Masyarakat dll. c). Budaya Hukum (Legal Culture) berkaitan dengan resepsi
dan aspirasi masyarakat tentang hukum yang sangat ditentukan oleh tata nilai,
keyakinan atau sistem social, politik dan ekonomi yang hidup dalam
masyarakat.
Sistem peradilan anak itu sendiri
sebenarnya sudah baik, namun baik buruknya sebuah sistem tetaplah terpulang
kepada kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan kepentingan
dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan
dengan hukum (the best interest of the Childern). Salah satu institusi
pemerintah yang relatif banyak berhadapan langsung dengan anak-anak yang
berhadapan dengan hukum
adalah institusi Pengadilan, hal ini karena kasus-kasus pidana yang dihadapi
anak muaranya akan diselesaikan di Pengadilan. Pada saat penyelesaian kasus di
Pengadilan inilah anak yang menjadi korban tindak pidana dan pelakunya
berinteraksi dengan Hakim baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama
proses peradilan tersebut Hakim di Pengadilan mempunyai kewajiban untuk
melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak sebagai pelaku
tindak pidana.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, telah
ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acaranya, dari mulai saat
penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara anak pada sidang Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan
oleh KUHP, yang penjatuhan pidananya ditentukan paling lama setengah dari
maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa, sedangkakn penjatuhan pidana
mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Sanksi
yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang tersebut ditentukan berdasar
perbedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya
dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah beusia di atas 12 sampai 18
tahun dapat dijatuhi pidana (Soetodjo, 2006,hal 3).
Terkait dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang
melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana pokok (pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan) dan pidana tambahan
(perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi (pasal 23, UUPA)
dan tindakan yang dapat dijatuhkan adalah; a) mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh; b) menyerahkan pada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, dan; c) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang Pendidikan, Pembinaan dan latihan kerja
(pasal 24).
Sedangkan bagi anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut Undang–undang maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan
(pasal 1 ayat 2.b) Hakim hanya menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam
pasal 24 saja. Terkait dengan kejahatan seksual yang dikategorikan
sebagai tindak pidana, maka ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan ke anak
adalah pidana pokok, pidana tambahan, pidanan denda atau pidana pengawasan atau
tindakan saja. Secara umum, pidana penjara atau pidana kurungan yang
dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa (lihat pasal 26 ayat 1 dan pasal 27), atau
apabila diancam tindakan pidana mati atau penjara seumur hidup, pidana penjara
yang dapat dijatuhkan ke anak paling lama 10 tahun (pasal 26 ayat 2).
Hakim
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus
suatu perkara pidana. Oleh karena itu Hakim dalam menangani suatu perkara harus
dapat berbuat adil. Seorang Hakim dalam memberikan putusan kemungkinan
dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruhi dari
faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga
dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi
pertimbangan dalam memberikan keputusan. Dalam
mengambil keputusan dalam tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anak, Hakim
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda dengan pengambilan keputusan
kekerasan seksual biasa atau terhadap orang dewasa. Hal ini menyangkut umur
korban dan pelaku yang
belum dewasa sehingga secara tidak langsung pelaku tindak kekerasan seksual
terhadap anak telah menghancurkan atau merusak masa depan korban, karena hal
ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis korban yang masih
labil. Korban yang seharusnya masih dapat berkembang menjadi terbebani karena
masalah tersebut sehingga korban menjadi pesimistis dalam menjalani hidup dan
tidak dapat menjalani hidupnya serta menikmati indahnya masa-masa anak seperti
anak-anak seusianya.
Pertimbangan
Hakim selayaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: pembuktian terdakwa, dan
apakah telah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Hal-hal
yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dari hasil pemeriksaan sidang.
hukuman yang patut dijatuhkan kepada terdakwa, serta apakah putusan yang akan
dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya.
Disamping hal tersebut pertimbangan Hakim juga harus meliputi pertimbangan
latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama
terdakwa. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan sesuai dengan nilai
sosiologis, filosofis, maupun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hakim
dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah
yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang
setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut
seringkali Hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat
suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang
diambil para majelis Hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan
hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya
menyangkut perkara-perkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini
menyebabkan di lingkungan Pengadilan masih sedikit ditemukan putusan Hakim yang
mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji secara akademik bagi pengembangan
hukum.
Putusan dari Hakim merupakan
sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku
luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para Hakim
dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah
keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah
tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang
dicantumkan dalam setiap putusan Hakim, khususnya dalam pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selama ini menurut penulis masih ada
Hakim dalam mengambil keputusan terhadap pekara pemerkosaan
yang dilakukan anak hanya ditegakkan pada nilai-nilai individualistis, yang
mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu
perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi
pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus pemerkosaan,
kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban.
Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan, hanya penting untuk
memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang
bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak
bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan
adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara
tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban.
Yang
masih disayangkan adalah dalam perkara pemerkosaan yang dilakukan oleh anak, Hakim
cenderung lebih mengutamakan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku (yang
diatur dalam UUPA), sehingga
perlindungan anak sebagai korban terabaikan (yang juga diatur dalam UUPA).
Sebagai contoh perkara kesusilaan yang dilakukan oleh beberapa orang anak
dibawah umur (pelakunya berjumlah 6 orang yang berusia antara umur 8 th sampai
dengan 10 th) terhadap anak yang berusia 6 th. [9] Walaupun pada akhirnya
putusannya adalah berupa tindakan dimana para pelaku dikembalikan kepada
orangtua sesuai dengan pasal 26 ayat (4) UU No. 3 tahun 1997: “bahwa anak nakal yang belum mencapai umur
12 (duabelas) tahun melakukan tindakan pidana yang tidak diancam pidana mati
atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap
Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997”. Namun masih ada pro dan
kotra terhadap putusan ini, terutama terhadap korban dimana korban dan
keluarganya mengalami trauma yang sangat besar dan korban merasa masa depannya
sudah hancur karena korban sudah tidak perawan lagi. Bahkan akibat putusan ini
korban dan keluarganya harus pindah dari rumahnya dikarenakan rasa malu yang
amat sangat. Dimana keadilan buat korban ???
Meskipun demikian menurut penulis, Pengadilan
perlu memberikan sanksi yang paling tepat pada anak-anak yang melakukan tindak
pidana terutama kejahatan seksual. Pemberian atau penjatuhan hukuman dalam
perkara anak-anak mempunyai tujuan edukatif dalam pemberian sanksi pada anak.
Untuk itu meski tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dikenakan
pertanggung jawaban pidana atau jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi
ia bisa dijatuhi pengajaran. Indonesia menanamkan dan memegang teguh prinsip
kesamaan dihadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan
begitu jelas dan tegas. Para Hakim ditugaskan untuk menjalankan tugas-tugas
dengan adil dan tidak berpihak. Sanksi
pidana mengenai pemerkosaan terhadap anak diatur pula di luar KUHP yaitu
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
ketentuan tersebut dalam pasal 81 yaitu sebagai berikut:
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Penulis berharap, seyogyanya Hakim
dalam menjatuhan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur seharusnya memperhatikan akibat-akibat yang timbul
dari adanya suatu perbuatan tersebut baik aspek psikis maupun aspek psikologis
dari korban, sehingga dalam putusannya dapat memuaskan rasa keadilan bagi
korban dan masyarakat. Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum
pidana memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan tersebut sehingga
supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam
masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi
pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang
serta mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan tersebut karena suatu
ancaman sanksi yang cukup berat.
Selain anak mendapat kesempatan mengganti kesalahan dengan berbuat
baik pada si korban dan memelihara hubungan dengan keluarga korban. Pada
akhirnya anak diberi kesempatan untuk rekonsiliasi dan penyembuhan dalam
masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidananya. Namun demikian
seorang Hakim tetap harus memperhatikan kemampuan pertanggung jawabkan pidana
pelaku kejahatan dalam menjatuhkan hukuman. Jangan ada keraguan dalam
menjatuhkan hukuman bagaimanapun juga suatu kejahatan harus mendapat imbalan
atau hukuman yang sepantasnya, karena hukuman selain dijadikan suatu balasan
atas kejahatan dapat juga sebagai perbaikan dan pencegahan akan semakin
maraknya tindak kejahatan.
Untuk mendukung upaya tersebut
menurut penulis, harus ada perubahan cara pandang secara menyeluruh terhadap
perkara tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dengan korban
dibawah umur sehingga anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku mendapatkan
hak-haknya secara adil dan bijaksana sesuai dengan undang-undang yang berlaku
sehinga kita semua dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
-
Upaya alternatif “diversi dan
restorative justice” dapat ditempuh oleh Polisi, Jaksa dan Hakim dalam
menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum terhadap
perkara-perkara ringan.
-
Upaya diversi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan kewenangan diskretioner (diskresi) yang dimiliki Kepolisian
terhadap perkara-perkara ringan yang dilakukan oleh anak.
2.
Saran
-
Perlu adanya upaya untuk menjalin
kerjasama yang positif, baik dengan instansi pemerintah maupun dengan LSM
sebagai bagian dari upaya aparat penegak hukum dalam melakukan diversi dan
restorative justice. Sehingga diversi dan restorative justice dapat
dipromosikan dan dikembangkan sebagai solusi penyelesaian perkara anak yang berkonflik
dengan hukum.
-
Perlu adanya peningkatan
pengetahuan Polisi khususnya Penyidik Anak tentang akses negatif dari
penyelesaian masalah anak melalui sarana Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP).
Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskresi
sebagai langkah positif.
-
Hakim dalam mengambil keputusan
terhadap perkara-perkara anak yang berkonflik dengan hukum tidak hanya
memperhatikan keadilan bagi anak sebagai pelaku tetapi juga anak sebagai korban
(khususnya tidak pidana berat yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai korban).
*
Hosianna M Sidabalok, S.H., M.H.
[1] B. Simandjuntak, 1981, Pengantar
Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, hal. 71
[3] Kartini
Kartono, 1992, Patologi Sosial II
(kenakalan Remaja), Jakarta: CV. Rajawali, hal. 8
[4] Marlina
, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, Jurnal
Equality, 2008, hal 1.
[6] Hal tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Agung,
Dr. Harifin A. Tumpa, SH, MH, usai menutup Konferensi Regional IACA
(International Association Of Court Administrator) Tahun 2011, Istana
Bogor, 14 Maret 2011.
[7] Stewart
Asquith, Childern and Young People in Conflict with the law. (ed)., Jessica
Kingsley Publishers: London, 1996, hal 169
[8] Prof.Dr.C.E.G.Sunaryati Hartono, SH.,
Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni 1991, Lilik
Mulyadi, SH, MH, Pengadilan Anak di Indonesis, Mandar Maju, Bandung,
2005, hal 8-11 Bandung, hal. 56.
great! benar2 tulisan yg bermanfaat dan berkualitas!
BalasHapus