Buruknya
situasi anak-anak yang berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan memang
tidak layak jika kita selalu salahkan pada petugas lembaga yang
bersangkutan. Situasi di lapangan
membuat mereka sendiri sangat berat, berkaitan dengan rendahnya pendapatan yang
diterima dan penghargaan yang mereka terima, jenjang karir yang tidak jelas dan
tidak memberi harapan, buruknya kultur yang telah “mapan” misalnya pekerjaan
itu lebih dilihat semata-mata sebagai rutinitas dan sekedar memenuhi syarat
statusnya sebagai pegawai negeri, yang semua itu menjadi semakin tidak menarik
dan menutup keinginan mereka untuk membuka mata atas derita dan kerugian yang
dialami anak-anak.
Penyebabnya
sarana dan prasarana di lembaga amat minim. Beberapa petugas mengeluh bahwa
bukan hanya orang-orang yang ditahan atau dipenjara saja yang terpenjara, tetapi
petugas pun “terpenjara”. Dalam situasi yang seperti ini, mereka merasa
merupakan kewajaran apabila menjadi mudah marah
dalam menghadapi tindakan anak-anak yang beraneka ragam dan terkadang
tindakan itu menurut anak adalah kesenangan atau petualangan, tapi dimata
petugas didefinisikan sebagai kenakalan atau pelanggaran disiplin.
Merujuk pada persoalan-persoalan dalam
penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum atau sistem peradilan,
maka rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:
1. Menaikkan batas usia minimal dan menurunkan
batas usia maksimal pertanggung jawaban
krimininal.
Mengenai batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban
kriminal memang berbeda-beda di antara banyak Negara. Hal ini tergantung pada
bagaimana suatu Negara mendefinisikan tentang juvenile dan bagaimana mendefinisikan delinquency. Dengan adanya perbedaan batas usia minimal dan
maksimal pertanggungjawaban kriminal tersebut, maka cara yang dipergunakan
untuk menangani juvenile delinquency menjadi berbeda-beda antar Negara. Skotlandia
tidak memiliki Pengadilan anak khusus bagi anak delinkuen. Anak-anak yang melakukan delinquency di bawa ke Children’s
Hearing Sistem yang tidak memiliki sanksi untuk menghukum mereka. Di
Inggris, anak-anak yang melakukan delinkuensi
ditangkap Polisi, tetapi hanya sebagian yang akhirnya dibawa ke Pengadilan.
Perbedaan batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban kriminal tidak
hanya berdampak terhadap perbedaan penanganan dari sistem peradilan pidana,
tetapi juga berhubungan dengan organisasi-organisasi dan institusi-institusi
seperti pekerja social dan pelayanan anak. Tidak hanya itu saja, perbedaan
batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban kriminal berkaitan erat
dengan kebudayaan masyarakat, pengharapan terhadap anak, keluarga dan peranan Negara.
Sehubungan dengan kaitan antara batas usia anak dengan nilai-nilai budaya setempat
memang diakui oleh Konvensi Hak Anak. Namun demikian kita dapat mengacu pada
rekomendasi dari The Beijing Rules
dan Konvensi Hak Anak (pasal 40 ayat 3) tentang pentingnya menaikkan batas usia
minimal pertanggungjawaban kriminal, karena semakin tinggi batas usia minimal
pertanggungjawaban kriminal, maka akan semakin sensitif aturan tersebut
melindungi hak-hak anak. Begitu juga sebaliknya.
Berkaca pada kasus-kasus yang terlihat bahwa usia 8 tahun
masihlah terlalu dini bagi anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Pada
usia tersebut, anak-anak masih belum dapat memahami apa yang diperbuat, belum
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pelanggaran hukum yang
dilakukannya adalah reaksi dari kondisi social dan individualnya, termasuk sebagai
ekspresi dari problem transisi psikologi yang dialaminya, ataupun lebih sebagai
kesalahan adaptasi anak terhadap situasi-siatuasi sulit atau tidak menyenangkan
yang dihadapinya. Banyak yang meyakini, kenakalan ini akan hilang begitu si
anak menginjak dewasa dan bila factor-faktor eksternal yang dihadapinya
tersebut dihilangkan. Terlebih amat dipercayai bahwa sebaik apapun satu sistem
peradilan berjalan, tetap saja memungkinkan terjadinya kerugian bagi anak-anak,
karena kerentanan dirinya, yang dikarenakan usianya. Karena keterbatasan psikis
dan fisiknya, mereka juga sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan
sekitarnya.
Dalam konteks Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa agen
sosialisasi yang berperan dalam menyampaikan nilai-nilai positif pada anak-anak
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Keterbatasan pendidikan orang tua,
factor ekonomi, latar belakang social berperan secara signifikan dalam
keterlibatan anak pada perilaku delinkkuen. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka
batas usia pertanggungjawaban kriminal hendaknya ditinjau kembali. Dalam
kondisi kesejahteraan ana yang sangat minim batas usia 8 tahun bagi anak untuk
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan adalah tuntutan yang
berlebihan. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa keterlibatan anak dalam sistem
peradilan akan membawa dampak buruk bagi anak-anak.
Oleh karena itu UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
idealnya harus lebih mengutamakan kepentingan anak, dengan dilakukannya
amandemen mengenai batas usia minimum pertanggungjawaban kriminal menjadi 9
tahun dan batas usisa maksimal pertanggungjawaban kriminal menjadi 15 tahun
sesuai dengan batas usia wajib belajar. Konsekuensinya,
bila ada anak-anak yang berada di bawah usia itu diduga melanggar hukum, maka
mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum, maka
mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang
hukum pidana, sehingga tidak dapat dibawa ke proses peradilan.
2. Segera dilakukan harmonisasi instrumen hukum
nasional, yang pada beberapa regulasi masih tidak sensitif terhadap kepentingan
anak bahkan kontradiktif satu dengan
yang lain, dengan mengacu pada standar yang ada pada instrumen internasional
baik yang pokok maupun yang bersifat pedoman.
Sejalan dengan rekomendasi yang pertama, dalam
perundang-undangan Indonesia yang mengatur masalah anak terdapat sudut pandang
yang berbeda dalam menentukan batas usia anak. Perbedaan-perbedaan ini membawa
kerugian yang amat besar, seperti hak anak untuk memperoleh pendidikan karena
usianya yang masih dalam usia wajib belajar, seringkali dilanggar. Perkawinan
dan kehamilan yang terlalu dini, problem kewarganegaraan dan problem-problem
sosial lainya.
Terlebih ketika anak berhadapan dengan hukum,
ketidaksinkronan realitas legal mengenai definisi anak, telah makin mempersulit
keadaan sianak. Banyak anak-anak yang dalam usia terlampau dini harus menjalani
proses peradilan, ditahan bersama-sama dengan penjahat dewasa dan bahkan
sebagian besar dari mereka kemudian dimasukkan dalam lembaga penghukuman, yang
sebagian besasr bercampur dengan narapidana dewasa. Perbedaan tentang batas
usia anak juga menyebabkan munculnya kasus-kasus anak yang mendapat perlakuan
dan keputusan Hakim yang tidak tepat, misalnya anak yang diputus Pengadilan
mendapat hukuman mati atau hukuman seumur hidup, yang mestinya dilarang
dikenakan kepada pelanggar hukum usia muda. Termasuk anak-anak, yang karena ia
sudah menikah, maka status anak berubah menjadi orang dewasa, sehingga jika
mereka ini melakukan pelanggaran hukum, mereka akan diperlakukan seperti
layaknya penjahat dewasa.
Kesalahan pengambilan keputusan oleh Hakim, perlakuan yang
salah oleh Polisi dan jaksa, memang tidak semata-mata disebabkan oleh adanya
perbedaan definisi mengenai anak dalam instrument local. Faktor yang menjadikan
variable perbedaan batas usia anak signifikan memperburuk kondisi anak adalah
lemahnya sosialisasi perubahan peraturan dan rendahnya pemahaman personel yang
terlibat dalam penanganan pelanggaran usia muda.
3. Menciptakan kemauan politik (political will) pemerintah, khususnya
pejabat tinggi di kePolisian dan Departemen Kehakiman & HAM untuk lebih
sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahyang khas bagi
anak-anak yang berada dalam sistem peradilan. Diantaranya mengubah kebijakan
alokasi anggaran dengan memberikan dukungan dana yang layak untuk aktivitas
perlindungan hak-hak anak dalam sistem peradilan, mengubah perspektif terhadap
anak-anak yang berada pada otoritasnya, serta keterbukaan menerima dan
menghargai intervensi atau bantuan pihak lain untuk bersama-sama melakukan
upaya memenuhi hak-hak anak dalam sistem peradilan.
Menjadi masalah klasik bahwa keterbatasan dana menjadi
kendala utama bagi pelayanan individu yang terlibat dalam sistem peradilan.
Kesulitan pengadaan dana tidak semata-mata disebabkan karena ketiadaan dana,
melainkan lebih disebabkan oleh perspektif atau sudut pandang yang masih
dominan di kalangan aparat penegak hukum bahwa individu yang masuk dalam sistem
peradilan bukanlah warga Negara yang baik, mereka adalah sampah masyarakat dan
orang-orang terbuang. Karena itu, kebijakan dan pelayanan yang ada dinilai
sudah “memadai” bagi para pelanggar hukum. Padahal, banyak kegiatan, kajian
kebijakan, perubahan-perubahan yang harus dilakukan secara mendasar dan cepat
untuk mengubah institusi sistem peradilan pidana lebih respek terhadap hak-hak
asasi manusia (termasuk respek terhadap hak-hak anak) dan lebih respek terhadap
hak-hak tersangka dan narapidana, yang kesemuanya amat memerlukan dana.
Selanjutnya adalah penting untuk segera diratifikasi dan
direalisasikan dalam instrument local yaitu Konvenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Pengadilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Peraturan-Peraturan Standar Minimum Bagi
Perlakuan Terhadap Narapidana, Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan
Semua Orang yang berada di bawah Bentuk Penahanan apapun atau Pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All
Person under Any Form of Detention or Imprisonment), dan
Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya.
Selain itu juga harus segera dilakukan sosialisasi secara
intensif terhadap Konvensi Hak-hak Anak (CRC), yang meskipun telah sering
dilakukan tapi masih belum signifikan, sosialisasi terhadap Undang-Undang No. 5
tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (Convention Against Torture aand Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Undang-Undang No.39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Keberhasilan proses sosialisasi ini akan mengubah perspektif
penegak hukum terhadap masalah anak dan dengan sendirinya akan mengubah
kebijakan alokasi dana yang ada. Dalam kegiatan sosialisasi dapat dilibatkan
para akademis dan LSM pemerhati masalah anak, sehingga pada akhirnya dapat
terbentuk jaringan kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat untuk
memberikan perlindungan pada anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Perlu juga
meningkatkan status hukum dari ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak yang semula
melalui Keppres menjadi Undang-Undang, sehingga lebih memiliki kekuatan
politisi dan hukum.
Kesemua kegiatan-kegiatan tersebut diatas amat tergantung
pada perspektif dan political will
dari penguasa, baik yang direpresentasikan dalam lembaga legislative, eksekutif
maupun yudikatif. Harus diakui, hingga saat ini kebijakan perlindungan bagi
anak yang berada dalam sistem peradilan bukanlah kebijakan yang popular di
tengah sorotan masyarakat seperti terhadap kasus-kasus korupsi dan narkotika,
perhatian terhadap anak yang berhadapan dengan hukum semakin tersisih. Prestasi
dan keberhasilan penegak hukum diukur dari penanganan kasus korupsi dan
narkotika dan bukan dari penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum.
Namun demikian di tengah kompleksnya masalah yang muncul dalam sistem peradilan
anak dijumpai beberapa aparat penegak hukum yang berdedikasi dan berjuang untuk
mengupayakan perlindungan bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
4. Menguatkan peran, fungsi dan kebanggaan
serta kemampuan Petugas Kemasyarakatan (Balai Pemasyarakatan) sebagai Probation Officer, serta meningkatkan
peran akademisi dan lembaga social/kemasyarakatan si suatu jaringan kerja
bersama untuk memajukan upaya perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Sejalan dengan nilai-nilai dalam instrument internasional
tentang perlakuan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum, di antaranya
dalam The Beijing Rules dan Peraturan
tentang Perlindungan bagi anak yang kehilangan kebebasannya, yang mensyaratkan
adanya probation officer dalam
penanganan masalah anak yang berhadapan dengan hukum, baik ketika pertama kali
anak berada di kePolisian, hingga proses Pengadilan, bahkan sampai dengan
ketika pelaksanaan hukuman. Idealnya, probation
officer akan memberikan laporan situasi keadaan dari si anak yang melatarbelakangi kenakalan yang dilakukannya,
memberikan masukan tentang alternative perlakuan yang non-formal, memberikan
masukkan untuk pelaksanaan diversi, memberikan batuan pendampingan ketika
anak-anak ini diberikan putusan pembebasan bersyarat atau hukuman besyarat,
bahkan ketika si anak harus menjalani hukuman penjara, yang kesemuanya itu
diberikan dalam perspektik kesejahteraan anak.
Dalam konteks sistem peradilan di Indonesia, UU No.3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak pasal 34 memberikan peran yang sangat strategis
pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk membantu memperlancar tugas Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim dalam perkara anak, baik di dalam maupun di luar siding
anak nakal dengan membuat laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang
akan menjadi bahan pertimbangan bagi Hakim dalam memutuskan perkara-perkara
anak yang berhadapan dengan hukum. Pada sidang anak yang tercermati, peran
strategis petugas Bapas belum memberikan sumbangan yang berarti dalam upaya
perlidungan anak yang berkonflik dengan hukum.
Keterbatasan kualitas sumber daya manusia yang memahami
perspektif anak dan keterbatasan tenaga professional merupakan kendala utama
yang harus segera diperbaiki. Sejalan dengan rekomendasi ketiga maka pemerintah
harus segera melakukan pelatihan dan pengembangan bagi para petugas Bapas.
Melalui pelatihan yang dilakukan diharapkan kualitas kerja petugas Bapas dalam
melaksanakan tugas-tugasnya akan lebih baik serta menumbuhkan rasa percaya diri
dan kebanggaan profesi para petugas Bapas di antara rekan penegak hukum.
Pelatihan SDM dilakukan dengan kerjasama dengan para penegak
akademis dan LSM pemerhati masalah anak. Fokus utama pelatihan adalah
penguasaan perspektif anak, penguasaan metode wawancara mendalam, serta
kemampuan menganalisa dn menuliskan Litmas secara ilmiah. Pada akhirnya
diharapkan Litmas yang disusun oleh petugas Bapas memberikan gambaran pada Hakim
tentang kasus anak yang ditanganinya serta dapat memberikan rekomendasi yang
didasarkan pada analisa yang komprehensif.
Keterbatasan dana disadari menjadi kendala untuk menyususn
Litmas yang akurat, penyusunan Litmas yang didasari dengan satu kali kunjungan
(home visiti) saja akan sulit
menghasilkan suatu analisa yang komprehensif. Selain itu banyaknya kasus yang
harus ditangani oleh seorang petugas Bapas turut menentukan kualitas kerja yang
dihasilkan. Sebagai contoh pada saat yang bersamaan petugas Bapas harus hadir
ddi kantor Polisi untuk mendampingi anak, sementara untuk kasus lain dia harus
mewawancarai orang tua anak. Kendala jarak dan waktu tempuh untuk menyelesaikan
kasus turut berperan dalam kualitas kerja petugas Bapas. Mengatasi kendala
beban kerja petugas Bapas dapat ditempuh upaya kerja sama dengan masyarakat
sebagaimana tercantum dalam pasal 33 dan pasal 35 UU No.3 tahun 1997, antara
lain dengan membuka kesempatan bagi petugas relawan untuk terlibat mendampingi
anak selama proses peradilan serta ketika anak menjalani pembinaan di dalam
lembaga. Dengan demikian keterbatasan pelayanan yang selama ini dirasakan oleh
anak-anak yang berhadapan dengan hukum dapat diantisipasi.
5. Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan
menguatkan sensitifitas terhadap penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak
anak yang berada dalam sistem peradilan, maka harus segera dilakukan
pelatihan-pelatihan intensif untuk petugas yang berwenang menangani Juvenile Justice Sistem. Khususnya
berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, hak-hak anak, instrumen-instrumen
internasional dan local yang menjadi rujukan perlindungan anak yang berhadapan
dengan hukum.
Sejalan dengan rekomendasi ke-3, pemerintah harus mewujudkan
kebijakan yang terintegrasi dalam perlindungan anak. Pemerintah harus menyadari
bahwa perlindungan anak merupakan hak setiap anak, dan hal ini merupakan
perwujudan dari hak asasi manusia, memberikan perlindungan bagi anak-anak yang
berhadapan dengan hukum berarti pula melindungi hak asasi manusia.
Selama ini sorotan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia
difokuskan pada kasus konflik antar etnis, masalah orang hilang, dan masalah
politik, maka sudah saatnya sekarang dibangun kesadaran bahwa pengabaian
terhadap perlindungan atas hak anak juga merupakan pelanggaran terhadap HAM.
Pelatihan berkesinambungan tentang perlindungan anak harus
segera dilakukan, terutama bagi para petugas dalam sistem peradilan. Fakta di
lapangan memperlihatkan bahwa sering kali para petugas belum mengetahui dan
memahami keberadaan instrument internasional yang mengatur perlakuan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum seperti Konvensi Hak Anak, Standar Minimum Rules For The Administration
of Juvenile Justice Sistem (The
Beijing Rules), Peraturan-Peraturan PBB bagi perlindungan anak yang
kehilangan kebebasannya dan Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi perlakuan
Narapidana.
Kondisi ini pada akhirnya melahirkan pelanggaran terhadap hak
asasi anak seperti dijumpainya penggunaan kekerasan fisik selama berada dalam
proses peradilan dan di lembaga, serta tidak disediakannya fasilitas bagi anak
seperti menyatukan anak dalam satu institusi pembinaan dengan pelanggar hukum
dewasa. Bentuk pelatihan dapat dirancang dengan bekerja sama dengan akademisi
dan LSM misalnya in house training,
diskusi, lokakarya dsbnya.
6. Membangun mekanisme formal yang menjamin
terlaksanaannya hak anak membuat pengaduan kepada kepala lembaga tempat ia
dicabut kemerdekaannya (Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan) dan kepada
pejabat berwenang lainnya yang lebih tinggi secara bebas dan segera mendapatkan
jawaban yang diperlukan.
Penempatan anak di dalam lembaga baik di rumah tahanan atau
lembaga pemasyarakatan membawa anak pada kondisi terisolasi dan terputus
hubungannya dengan dunia luar. Jadwal kunjungan keluarga yang terbatas,
factor-faktor teknis dan aturan yang berlaku di dalam lembaga menyebabkan
hubungan dengan dunia luar yang sudah terbatas tadi semakin sempit saja. Adalah
sangat riskan ketika anak-anak tidak dikunjungi oleh keluarganya, tidak dapat
berhubungan dengan “dunia di luar lembaga”, anak dapat menjadi korban kekerasan
didalam lembaga kapan saja tanpa bias menyampaikan pada pihak lain yang dapat
memberikan bantuan. Kekerasan dapat dialami anak selama di dalam lembaga baik
dilakukan oleh sesame penghuni lembaga ataupun dari petugas Pembina. Kondisi
ini merupakan pengingkaran terhadap hak anak sebagaimana yang diatur dalam
Konvensi Hak Anak khususnya pasal 37 sampai dengan pasal 40.
Ketakutan dan kecemasan yang dialami anak-anak yang
berhadapan dengan hukum juga berhubungan dengan proses peradilan yang akan
dijalani. Kebutuhan penjelasan dan informasi mengenai status anak, ancaman
hukuman, lamanya penghukuman dan proses yang akan dijalani dalam peradilan
seringkali tidak mendapat jawaban yang memadai dari personel dalam sistem
peradilan yang menangani kasus anak. Hal-hak semacam ini luput dari perhatian
para penegak hukum dan pengamat sistem peradilan anak. Kita baru menyadari masalahnya
bila media massa memberitakan kasus-kasus kekerasan anak dalam sistem
peradilan.
Disini terlihat bahwa di dalam sistem peradilan anak tidak
terlihan adanya evaluasi terhadap kinerja pihak-pihak yang terkait dalam sistem.
Para Hakim Wasmat (Pengawas Pemasyarakatan) sejauh ini belum terlihat dengan
nyata. Berdasarkan kondisi ini, maka diperlukan suatu mekanisme yang dapat
ditempuh anak selama dalam lembaga pembinaan untuk menyampaikan pengaduan
secara bebas kepada lembaga yang berwenang dengan jaminan perlindungan atas apa
yang mereka sampaikan. Sejalan dengan itu maka keterlibatan LSM pemerhati
masalah anak serta peran relawan bias menjadi jembatan dalam pelaksanaan
evaluasi terhadap kinerja aparat dalam sistem peradilan.
7. Segera menciptakan sistem pencatatan
kelahiran anak yang bias diakses di seluruh wilayah Negara dan penduduk, juga
segera membangun sistem pencatatan identitas anak-anak yang berada dalam
lembaga penahanan dan pemenjaraan secara memadai pada setiap lembaga yang
menahannya.
Masa penempatan anak di suatu lembaga berhubungan erat dengan
usia anak, misalnya penempatan anak di Lembaga pemasyarakatan Anak adalah
sampai usia 18 tahun, setelah itu masih harus menjalani sisa hukumannya maka ia
harus dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pemuda. Berbicara masalah usia anak
dalam kaitannya dengan penempatan anak di dalam lembaga maka sangat ditentukan
dengan akte kelahiran sebagai dokumen resmi yang menjadi dasar penentuan usia
anak. Secara sepintas masalah pencatatan kelahiran dianggap tidak berdampak
bagi anak-anak di dalam sistem peradilan, tetapi jika dikaji lebih jauh maka
seringkali ditemukan kasus anak sudah melampaui usia 18 tahun tetapi tetap ditempatkan
bersama anak-anak yang berusia kurang 18 tahun. Bahkan petugas di beberapa
Lembaga Pemasyarakatan Anak mengenali beberapa anak yang menjadi residivis yang
seharusnya ditempatkan di lembaga Pemasyarakatan Pemuda dan Dewasa tetapi
mendapat putusan Hakim ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Putusan Hakim
semacam ini dapat saja terjadi karena pada saat siding berlangsung tidak ada
bukti otentik yang dapat memastikan usia anak. Usia anak yang diterima Hakim
adalah usia yang didasarkan pada pengakuan semata atau perkiraan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem pencatatan
kelahiran yang buruk dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak anak yang
berhadapan dengan hukum. Sejauh yang teramati sistem pencatatan kelahiran yang
ada di Indonesia selama ini belum menjadi prioritas yang akan segera diperbaiki
pemerintah. Masih banyak dijumpai anak Indonesia yang tidak memiliki dokumen
kelahiran mengingat biaya dan keterbatasan informasi serta proses birokrasi
yang dirasakan memberatkan masyarakat. Karena itu mendesak untuk segera
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sistem pencatatan kelahiran yang
sederhana, ekonomis dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat maupun lembaga
yang memerlukannya.
8. Menyediakan alternative-alternatif
penanganan non-formal terhadap perkara anak, yang semuanya itu didasari
semangat untuk menghindarkan anak dari proses peradilan formal, penahanan dan
pemenjaraan yang sangat potensial membawa banyak kerugian bagi anak. Alternatif
penanganan non formal ini dilakukan dengan cara mendayagunakan dan mendasarkan
pada seluruh kemampuan yang dimiliki komunitas.
Mengubah filosofi penaganan terhadap perilaku juvenile delinquency yang retributif
atau rehabilitatif dengan model Restorative Justice, yang konsep
dasarnya mengambil teori dari John
Braithwaite tentang Reintegrative
Shaming. Model ini bisa sejalan dengan pendekatan yang mendasari ketentuan
dan nilai-nilai dalam Konvensi Hak Anak adalah pendekatan kesejahteraan, dimana
para pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem
peradilan pidana. Segala tindakan yang akan diambil oleh Negara berkaitan
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh si anak tersebut sedapat mungkin
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini disebabkan karena anak
dianggap sebagai pribadi yang mudah sekali terpengaruh terhadap segala bentuk
tindakan maupun ucapan yang dilakukan atau dikatakan oleh orang lain.
Intervensi yang berhasil adalah employment-focused
programmers dan aktifitas untuk
mengurangi agresifitas anak-anak dan orang muda. Intervensi yang berhasil juga
harus melibatkan permasalahan natural dari juvenile
delinquency.
Model Restorative
Justice berdasarkan pada Due Process
Model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangat menghormati hak-hak hukum
setiap tersangka, seperti hak untuk diduga dan diperlakukan sebagai orang yang
tidak bersalah jika Pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela
diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proporsional dengan pelanggaran
yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak
mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan.
Di samping itu adanya kepentingan korban juga tidak boleh diabaikan. Namun
demikian, tetap harus memperhatikan hak-hak asasi anak sebagai tersangka.
Anak-anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman yang
biasa diberlakukan kepada penjahat dewasa. Tindakan-tindakan yang dapat diambil
terhadap anak-anak yang telah divonis bersalah ini misalnya pemberian hukuman
bersyarat, seperti kerja social/pelayanan social, serta pembebasan bersyarat.
Dengan demikian dalam model Restorative
Justice, proporsionalitas penghukuman terhadap anak amatlah diutamakan.
Model ini amat sangat terlihat dalam ketetntuan-ketentuan dalam The Beijing Rules dan dalam
Peraturan-Peraturan PBB bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya.
Ketika berbagai upaya yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk
menghindarkan anak-anak dari proses hukum gagal dilakukan, maka anak-anak yang
berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak-haknya sebagai
tersangka dan hak-haknya sebagai anak.
Diversion
(pengalihan) pada kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum menjadi jalan
keluar yang menentukan bagi anak. program
diversion sebagaimana dicantumkan pada The
Beijing Rules (pasal 11) akan memberikan jaminan bahwa anak mendapat
resosialisasi dan reedukasi tanpa harus menanggung dampak stigmatisasi.
Berkaitan dengan program diversion
ini maka harus dirancang suatu program intervensi yang efektif seperti
persiapan memasuki dunia kerja dan menyediakan lapangan kerja, persiapan studi
lanjutan, pengembangan potensi diri dan program khusus penurunan dan pengalihan
agresifitas menjadi energy yang kreatif dan positif.
Program diversion
pada satu sisi harus bertujuan memperdayakan anak tetapi pada sisi lain harus
mamp[u mengembangkan sikap anak untuk menghargai orang lain. Diharapkan setelah
melalui program ini anak akan memiliki kemampuan untuk memahami kesalahannya
dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Dalam konteks proses penanganan anak-anak yang berhadapan
dengan hukum tidak terlihat jelas alternative-alternatif penanganan kasus
berdasarkan satu pedoman aturan. Misalnya kewenangan Polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk
kasus-kasus seperti apa, atau dalam kasus apa jaksa dapat menggunakan
kewenangannya untuk meminjam tahanan dengan mengeluarkan anak dari lembaga?
Karena itu diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi
diberikannya perlakuan non-formal bagi kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum
sehingga praktek-praktek negative dalam sistem peradilan pidana yang merugikan
anak dapat diatasi.
Dimasa mendatang diharapkan kasus anak yang berkonflik dengan
hukum yang dibawa dalam proses peradilan terbatas pada kasus-kasus yang serius saja, diluar itu kasus anak akan
diselesaikan melalui mekanisme non-formal yang didasarkan pada pedoman yang
baku. Bentuk penanganan non-foramal dapat dilakukan dengan mewajibkan anak yang
berhadapan denagn hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga
tertentu, bekerja social, berada dibawah pengawasan relawan (konsep Big Sister-Big Brother), terlibat pada
kegiatan dikomunitasnya dsbnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus
digalangkan kerja sama yang luas dengan berbagai komunitas yang dapat membantu
kegiatan ini. Pada akhirnya penanganan non-formal dapat terlaksana dengan baik
bila diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.
9. Mengadakan badan-badan atau lembaga-lembaga
social kemasyarakatan yang secara professional dan memadai mampu menjalankan
program-program/aktifitas-aktifitas dari diversion
dan penanganan-penanganan alternative yang disediakan bagi pejabat berwenang
dalam memutuskan perkara pelanggaran hukum usia anak atau remaja, sehingga
terhindar dari kerugian-kerugian yang semakin besar dengan keberadaannya di lembaga
penahanan atau pemenjaraan.
Diversion sebagai program
alternative untuk menjauhkan anak dari sitem eradilan merupakan langkah yang
perlu dirancang dalam waktu yang yang tidak terlalu lama dengan memanfaatkan
potensi yang telah ada dan berkembang di masyarakat. Sejumlah program diversion yang dapat segera dilakuan
adalah membenahi program pembinaan anak dan pemuda pada tingkat nasional
seperti gerakan Pramuka, Palang Merah Remaja untuk dikembangkan menjadi
kegiatan yang lebih bervariasi sesuai dengan kebutuhan remaja serta pendidikan
luar sekolah yang bermanfaat secara langsung bagi anak. Struktur organisasi
Pramuka daan Palang Merah Remaja yang ada sampai ke pelosok daerah merupakan
jaringan yang dapat dimanfaatkan untuk membina potensi masyarakat dalam upaya
penyelenggaraan program diversion.
Dikota besar dijumpai berbagai pusat belanja yang pada
beberapa tahun terakhir menjadi arena bagi remaja untuk menampilkan diri. Perlu
dipikirkan potensi pengembangan pusat perbelanjaan sebagai tempat bagi remaja
untuk mendapatkan keterampilan, menampilkan bakat berkesenian, mempertontonkan
kemampuan bela diri, olahraga dsbnya. Dengan kata lain, pusat perbelanjaan
dikembangkan tidak hanya sebagai tempat yang menjalankan fungsi ekonomi saja
tetapi juga memberikan fungsi social bagi kelompok anak. Fungsi ini pernah
berjalan pada sekitar tahun 1970 di Jakarta melalui Gelanggang Remaja.
Penyelenggaraan kegiatan yang pada akhirnya dijadikan alternative pembinaan
bagi anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya dirancang sesuai dengan
kebutuhan anak dewasa ini.
Alternatif lain yang dapat dikembangkan dalam program diversion adalah keharusan melaksanakan
kerja social. Sejauh yang diketahui penempatan Hakim dalam kasus anak yang
berhadapan dengan hukum hampir tidak pernah memberikan peluang bagi anak untuk
mendapatkan disposisi melakukan kerja social. Sehubungan dengan hal tersebut
kiranya dapat dirancang suatu program kerjasama dengan pemerintah daerah
setempat, misalnya kerja social di Panti Jompo, yatim Piatu, atau Rumah sakit
yang dikelola pemerintah daerah. Melalui kerja social semacam ini diharapkan
anak mendapat manfaat sosialisasi nilai yang positif dibandingkan dengan
penempatan di dalam lembaga. Jika mengacu pada batas usia minimal
pertanggungjawaban criminal adalah usia 9 tahun, maka program diversion menjadi prioritas yang harus
diberikan pada anak usia 9 tahun sampai dengan 15 tahun.
10. Membuat program-program rehabilitasi
terhadap komunitas asal anak dan khususnya keluarga dari anak-anak yang akan
keluar dari pembinaan dalam lembaga.
Merujuk pada pasal 39 Konvensi Hak Anak di mana negara-negara
peserta harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk meningkatkan pemulihan
rohani dan jasmani dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat. Pemulihan dan
reintegrasi seperti tersebut di atas harus dilakukan dalam suatu lingkungan
yang memupuk kesehatan, harga diri dan martabat anak yang bersangkutan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan anak pada kenakalan
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan di mana anak berada khususnya
lingkungan tempat tinggal atau keluarga. Dalam kasus-kasus anak yang berhadapan
dengan hukum, lingkungan keluarga atau tempat tinggal anak sejauh ini belum
mendapat perhatian. Keluarga dan lingkungan tempat tinggal dilibatkan hanya
pada proses melengkapi data pada penyususnan Litmas oleh petugas Bapas.
Idealnya perlu dilakukan program intervensi terhadap lingkungan anak untuk
mempersiapkan integrasi anak kembali ke dalam keluarganya. Penjelasan tentang
hak-hak anak dan kewajiban orang tua untuk memberikan perlindungan terhadap
anak harus disosialisasikan. Hal ini penting karena betapa baiknya pembinaan
yang dilakukan di dalam lembaga, bila lingkungan keluarga dan masyarakat
menolak menerima kembali anak setelah menjalani pembinaan di lembaga dapat menjadi
pemicu bagi anak untuk mengulangi pelanggaran hukum.
Sedangkan untuk mencegah “residivisme”
dalam kasus anak, maka sebagaimana program intervensi yang berorientasi kepada
penyediaan keterampilan, latihan-latihan dan khususnya ketersediaan lapangan pekerjaan
buat anak-anak yang keluar dari proses perdailan atau lembaga
penahanan/penghukuman, terbukti paling efektif. Program ini tentu saja akan
berhasil jika didukung oleh sikap respek masyarakat dan keluarga yang mendukung
anak-anak ini, bukan malah sebaliknya, memperlakukan mereka sebagai penjahat
kecil atau sebagai orang buangan, dengan memberikan stigma pada setiap langkah
yang dilakukan si anak.
11. Mengadakan semacam half way houses atau panti untuk anak-anak yang keluar dari lembaga
sebelum kembali ke masyarakat dan keluarganya.
Kebebasan setelah selesai menjalani pembinaan di dalam
lembaga tidak selalu membawa kebahagiaan bagi anak. Ada anak-anak yang merasa
“gamang” tidak tahu harus kemana. Pulang ke rumah orang tua tidaklah mudah,
selain keluarga yang tidak siap menerima mereka kembali juga biaya transportasi
untuk kembali ke rumah tidak dimiliki oleh anak yang baru dibebaskan. Anak-anak
yang orang tuanya tinggal berjauhan dari lembaga tempat ia dibina menghadapi
kesulitan besar. Jika mereka tetap ingin pulang ke rumah tanpa mengeluarkan
uang, mereka harus menunjukkan surat pembebasan dari lembaga, dengan demikian
mereka dapat bebas untuk tidak membayar ongkos angkutan. Disini dengan jelas
terlihat bahwa anak dihadapkan pada pilihan yang sulit dimana identitasnya
sebagi individu yang baru selesai menjalani pembinaan harus diberitahukan pada
pihak lain yang sebetulnya tidak berkepentingan untuk mengetahuinya. Untuk
mengumpulkan ongkos kembali ke rumah orang tua, tidak jarang anak-anak bekerja
sebagai kuli angkut di terminal atau pasar, bahkan tidak jarang yang kembali
melakukan pelanggaran hukum beberapa saat setelah bebas dari lembaga pembinaan.
Di dalam UU No.3 tahun 1997 tentanng Pengadilan Anak, pasal
33, 34 dan 35 dijelaskan ketentuan tentang pekerja social dari Departemen
Sosial yang bertugas membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang
berdasarkan putusan Pengadilan dijatuhi pidana bersayarat, pdana pengawasan,
pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mngikuti latihan kerja, atau
anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga pemasyarakatan. Petugas
social juga bertugas membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan
Pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan dan
pembinaan dan latihan kerja. Dengan demikian peran pekerja social harus
diberdayakan termasuk memberikan pendampingan bagi anak yang baru menyelesaikan
pembinaan di dalam lembaga. Upaya ini sedang dirintis kembali anatara petugas
Lembga Pemasyarakatan Anak Tanggerang dengan Departemen Sosial.
Gambaran diatas pada sisi lain menjelaskan pada kita
kebutuhan akan rumah/panti yang dapat menjadi tempat bernaung sementara bagi
anak-anak yang baru selesai menjalankan pembinaan di lembaga. Di tempat ini
anak dapat dibantu untuk mendapatkan atau memerjakan pekerjaan tertentu yang
dapat menghasilkan uang untuk memenuhi ongkos mereka kembali ke rumah. Panti
juga membantu menghubungi pihak keluarga anak atau mempersiapkan anak
keterampilan untuk memasuki dunia kerja. Di rumah sementara harus diatur dengan
jelas jangka waktu seorang anak boleh tinggal.
12. Membentuk badan independen yang berwenang
memantau, menerima dan menyelidiki pengaduan-pengaduan yang dibuat oleh
anak-anak yang berhadapan dengan hukum, serta membantu mencapai penyelesaiannya
yang terbaik bagi anak. Badan independen ini juga harus diberi kewenangan untuk
secara leluasa melakukan peninjauan terhadap putusan yang diberikan oleh aparat
sistem peradilan anak.
Di Indonesia secara umum dapat dikatakan belum banyak terdapat
mekanisme evaluasi terhadap sistem peradilan oleh lembaga independen. Segala
putusan peradilan sangat sulit untuk dikoreksi sehingga kesalahan dalam putusan
Pengadilan baru diketahui setelah memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Dapat
dibayangkan bila hal ini terjadi pada kasus anak yang berhadapan dengan hukum
maka sepanjang hidup anak akan dirugikan. Masa depan anak terlanjur porak
poranda dengan penempatan di dalam lembaga, terlebih lagi di Indonesia sejumlah
besar anak masih ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa.
Diasumsikan bahwa pelanggaran atas hak anak telah terjadi dalam penempatan anak
di lembaga pembinaan.
Diperlukan hadirnya suatu lembaga independen yang dapat
memonitor kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum atau tengah menjalani
proses peradilan. Lembaga ini memberikan pendampingan sejak anak menjalani
proses di Kepolisian, kejaksaan, persidangan serta menjalani proses pembinaan
di dalam lembaga. Pengaduan dan perlakuan anak selama dalam proses peradilan
dapat dilaporkan pada lembaga ini untuk ditindak lanjuti. Usulan peninjauan
keputusan Pengadilan dapat dilakukan oleh lembaga ini seperti penempatan anak
di Lembaga pemasyarakatan Dewasa atau Rutan bersama-sama dengan orang dewasa
yang mengabaikan perlindungan anak.
13. Mengacu kepada Riyadh Guidelines, yaitu Pedoman PBB dalam rangka Pencegahan Tindak
Pidana Anak, maka perlu segera membuat kebijakan strategi pencegahan kejahatan,
khususnya berbagai strategi pencegahan kejahatan secara social, yang mampu
mencegah anak-anak dan orang-orang muda terlibat tindakan yang dikatagorikan
sebagai pelanggaran hukum.
Piere de Liege
(1991) mengatakan, menurunnya kejahatan dan delinquency
disebabkan adanya strategi pencegahan kejahatan yang berdasarkan pada filosofi
pencegahan kejahatan secara social.
Bentuk-bentuk strategi pencegahan kejahatan yang berdasarkan
pada filosofi pencegahan kejahatan secara social adalah pemberantasan
kemiskinan, memperbaiki kurikulum sekolah, membangun hubungan yang komunikatif,
terbuka dan hangat antara guru/sekolah dan anak-anak, meningkatkan fasilitas
rekreasi/latihan dan pengembangan kecerdasan dan minat anak-anak, membangun
mekanisme pengawasan informal dari masyarakat terhadap anak-anak dan orang
muda, membangun pola pengasuhan anak yang egaliter, terbuka dan hangat antara
orang tua dengan anak-anak sehingga mampu mengatasi problem-problem perinatal
yang mungkin dialami anak-anak, menyediakan lembaga-lembaga rehabilitasi bagi
anak-anak yang mengalami trauma karena pengalaman buruk, penyediaan lapangan
kerja, peningkatan kesempatan menikmati pendidikan yang lebih tinggi dan sesuai
minat, mengembangkan nilai-nilai social yang respek kepada anak-anak,
pemberantasan narkotika, dll.
Meskipun tidak terbukti adanya hubungan langsung antara
obat-obatan dan narkotika dengan kejahatan, tetapi variable yang satu makin
memperburuk yang lainnya. Oleh karena penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
dengan kejahatan muncul dalam satu lingkaran, maka dibutuhkan adanya dukungan
dari keluarga dan teman yang bukan pemakai obat-obatan/narkotika dan harus
dihindarkan adanya stigmatisasi terhadap anak-anak yang terlibat dalam
penyalahgunaaan obat-obatan dan narkotika. Ini termasuk dalam stretegi
pencegahan kejahatan.
14. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara
permanen, berkala dan intensif, disertai kajian penelitian dan upaya untuk
senantiasa memperbaharui peraturan-peraturan yang ada agar semakin memberi
keleluasaan kepada pihak-pihak yang berwenang dan yang peduli dengan persoalan
yang dihadapi oleh anak-anak dan remaja, baik dalam rangka pencegahan kejahatan
maupun saat anak-anak berhadapat dengan Juvenile
Justice Sistem.
Selain keberadaan badan independen yang bersifat extra judicial sebagaimana dijelaskan
dalam rekomendasi 12, diperlukan pula evaluasi secara berkala terhadap kinerja
penegak hukum yang menanngani kasus anak. Evaluasi kinerja ini dilakukan oleh
masing-masing departemen. Berdasarkan hasil evaluasi selanjutnya disusun
rancangan kegiatan (action plan)
untuk memperbaiki kinerja aparat serta mengatasi kendala yang ada. Dengan demikian
diharapkan secara bertahap kinerja pihak yang terlibat dalam sistem peradilan
anak akan menjamin diberikannya perlindungan terhadap hak anak. Jika hal ini
tercapai perlindungan terhadap hak asasi manusia juga telah dilaksanakan.
15. Melakukan dekriminalisasi terhadap
tindakan-tindakan anak yang masuk katagori status offender dan membatasi kenakalan yang masuk ke sidang anak.
Didalam kasus pelanggaran hukum anak dikenal katagori yang
disebut dengan status offender yaitu
perbuatan yang jika dilakukan oleh anak dikatagorikan sebagai
kenakalan/pelanggaran hukkum, akan tetapi kepada anak tersebut harus diberikan
upaya perlindungan. Misalnya saja anak-anak yang terlibat dalam penggunaan
narkotika sebagai pemakai, maka anak berhak untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi
dan pembinaan. Sebaliknya kepada orang dewasa yang melibatkan anak dalam
penggunaan narkotika baik menjadikan anak sebagai pemakai atau memanfaatkan
anak sebagai penjual harus dikenakan sanksi yang lebih berat. Status offender antara lain diberikan
kepada anak-anak yang melakukan perbuatan penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika, lari dari rumah, membolos, mengganggu ketentraman lingkungan dan
berada di tempat-tempat yang dinyatakan terlarang bagi anak seperti daerah
pelacuran dan perjudian.
Katagori perbuatan (status
offender) akan memberikan perlindungan lebih maksimal lagi apabila
dicantumkan dalam bentuk Juvenile Act.
Dengan demikian peluang anak untuk masuk dalam sistem peradilan dipersempit,
sehingga hanya kasus-kasus yang serius saja yang akan membawa anak dalam sistem
peradilan.
16. Dalam 5 (lima) tahun ke depan, Lembaga
Pemasyarakatan Anak harus diubah menjadi sekolah “khusus” (training school) dengan pengawasan yang amat minimum, berada di
tengah masyarakat dalam bentuk panti-panti dengan suasana kekeluargaan.
Secara ideal seorang anak yang menjalani masa pembinaan di
dalam lembaga tetap mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.
Keberadaan institusi yang menjalankan fungsi pendidikan formal di dalam lembaga
pembinaan menjadi kebutuhan yang harus diselenggarakan oleh Negara. Pada banyak
kasus anak-anak yang ditempatkan dalam lembaga tidak dapat melanjutkn
pendidikannya. Hal ini terjadi karena di lembaga yang bersangkutan tidak
disediakan fasilitas pendidikan seperti yang dialami anak-anak yang berada di
rumah tahanan Negara atau LP dewasa.
Dibeberapa lembaga pembinaan seperti Lembaga Pemasyarakatan
Anak Tanggerang terdapat sekolah untuk anak-anak yang menjalani pidana, tetapi
sekolah tersebut digolongkan pada sekolah luar biasa. Sehingga secara tidak
langsung hal ini akan membawa pada proses stigmatisasi. Pada beberapa kasus
anak-anak diberikan kesempatan untuk melanjutkan sekolah di sekolah umum namun
dengan pengawasan dari petugas lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya guna mengembangkan potensi individu maka di masa
mendatang model pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak diubah
kedalam sistem pembinaan berkelompok dalam panti. Dengan sistem yang baru,
Pembina/petugas lembaga berperan sebagai orang tua, sehingga dalam proses
pembinaan anak akan mendapatkan suasana kekeluargaan.
Lembaga pembinaan anak di masa akan dating harus mampu
menyediakan pelatihan keterampilan yang menarik minat anak serta bermanfaat
sebagai sarana penunjang anak untuk mendapatkan pekerjaan atau berpartisipasi
dalam masyarakat. Berkaitan dengan sistem pembinaan dalam panti maka
keterlibatan tenaga professional harus segera dipersiapakan. Perubahan pola
pembinaan diharapkan dapat mengantisipasi dampak buruk penempatan anak di dalam
lembaga, sehingga anak yang berhadapan dengan hukum tetap dapat mengembangkan
potensi-potensi dirinya sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar