Selasa, 20 November 2012

Artikel 3 - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Secara filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus perjuangan. Seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak menjadi pilihan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah/yang berkonflik dengan hukum.

A.  PENDAHULUAN

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal yang penting dan menentukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan negara. Namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat. Dan perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal yang membutuhkan penanganan hukum secara serius, khususnya perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.


Dewasa ini kenakalan remaja semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya.Yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja tersebut bukan kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan kriminal, yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (khususnya tindak pidana kesusilaan). Oleh karena itu,  perlindungan hak-hak anak  jangan sampai diabaikan, untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan bagi terpeliharanya perlindungan hak-hak anak. Dalam hal ini prinsip kepentingan yang terbaik untuk anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi yang utama.

Saat ini sudah ada satu kerangka kerja hukum yang lengkap untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perkembangan dalam bidang hukum yang paling penting adalah dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Anak pada bulan Oktober 2002. Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Undang-Undang ini dibuat berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak: non-diskriminasi, kepentingan terbaik sang anak, hak untuk hidup, bertahan dan berkembang dan hak untuk berpartisipasi. Didalamnya diatur hak-hak dasar anak untuk memperoleh identitas, kebebasan, pendidikan, layanan kesehatan, hiburan dan perlindungan.
             
        Sebagaimana Undang-Undang pada umumnya, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak, mengingat:
1.   Anak adalah amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
2.  Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.
3.  Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan mempunyai akhlak yang mulia.
4.   Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang:
a.    Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi
b.    Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, apalagi memadai.            

Selain itu Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat:
1. Kewajiban memberikan perlindungan anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945 atau dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang lain, agar dapat menjamin pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat penanganan serta sasaranna, yang harus dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua anak.
2. Perlu adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak dalam kapasitas mendidik anak. Oleh karena itu, disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak menjadi salah asuh, salah arah, maka perlu ditujukkan juga kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh anak.

Lembaga peradilan dalam hal ini mempunyai peranan  penting dalam menjamin perlindungan hak-hak anak, baik anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Hakim sebagai pejabat yang mempunyai wewenang dalam memeriksa dan memberikan putusan atas tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan anak terhadap anak di bawah umur, harus dapat memberikan putusan yang tegas dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya serta hak-hak anak yang menjadi pelaku dan hak-hak anak yang menjadi korban pada khususnya.

Hakim juga harus memperhatikan faktor-faktor mengenai hak asasi manusia, serta menjadikan pidana secara operasional yang dapat diterima baik dari posisi korban (anak) maupun pelaku (anak). Walaupun dalam menjalankan tugas kewenangannya, Hakim banyak menemui beberapa kendala khususnya terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh anak yang memiliki perlindungan hukum yang sama, namun Hakim yang memeriksa perkara pemerkosaan harus dapat mempertimbangkan dalam putusannya untuk mengatur tentang hak-hak anak yang menjadi korban dan hak-hak anak sebagai pelakunya. Oleh karena itu diperlukan Hakim-Hakim yang handal sehingga mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi.

B. PEMBAHASAN

1. Kejahatan Pelecehan Seksual Antar Anak

Kejahatan secara umum adalah perbuatan atau tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia yang dinilai tidak baik, tercela dan tidak patut dilakukan. Siapapun dapat menjadi pelaku dari kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, orang dewasa atau orang yang berusia lanjut baik laki-laki ataupun perempuan.

Menutur Van Bemmelen, kejahatan adalah “tiap kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut”.[1]

Sementara itu, menurut Bonger, “Setiap kejahatan bertentangan dengan kesusilaaan, kesusilaan berakar dalam rasa sosial dan lebih dalam tertanam daripada agama, kesusilaan merupakan salah satu kaidah pergaulan”[2]

Masa remaja marupakan masa dimana seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, baik secara fisik maupun emosinya belum stabil serta belum matang cara berfikirnya. Terutama pada masa remaja biasannya mudah cemas, mudah tergoncang emosinya dan sangat peka terhadap kritikan. Karena jiwanya yang belum stabil, terkadang mereka ingin terlepas dari segala peraturan yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi, mudah menerima pengaruh dari luar lingkunganya dan ingin hidup dengan gayanya sendiri. Maka tidak heran jika banyak remaja yang berbuat nakal di tempat umum seperti minum-minuman keras di pinggir jalan, mencoret-coret tembok, kebut-kebutan dijalan umum, mencuri, melakukan hubungan seksual dengan teman wanitanya dan sebagainya.

Kejahatan seksual (sexual crime) terhadap anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak-anak (pelaku) terjadi di banyak negara. Kejahatan seksual terhadap anak-anak terjadi di negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia. Dalam ilmu jiwa, masa transisi dialami anak mulai usia 10 tahun, dalam bukunya, Soedarsono sependapat dengan Andi Mapiere, yang mengutip Elisabeth B. Harlock, yang membagi usia anak remaja yaitu masa puberitas pada usia 10 tahun atau 12 tahun sampai 13 tahun atau 14 tahun, masa remaja pada usia 13 tahun atau 14 tahun sampai 17 tahun, masa remaja akhir (masa dewasa muda) pada usia 17 tahun sampai 21 tahun.

Dari beberapa kasus yang terungkap yang pernah penulis sidangkan, kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi psikologi, ada juga faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana pelecehan seksual oleh anak yaitu karena anak tersebut tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya, orang tua lupa diri sebagai orang tua karena terlalu sibuk, juga disebabkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, pengaruh lingkungan, kebebasan pergaulan akibat tidak mendapat perhatian orang tua di rumah, adanya film dan video yang lepas sensor, bacaan-bacaan yang dapat menimbulkan rangsangan dan pengaruh bagi yang membaca dan melihatnya, akibatnya banyak terjadi penyimpangan seksual terutama oleh anak usia remaja yang dapat merusak jiwa anak tersebut. Biasanya anak-anak praremaja yang berpotensi sebagai korban dan pelaku pelecehan seksual.

Tindak pelecehan seksual oleh anak yang terjadi merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian khusus bagi pemerintah, oleh karena berkaitan dengan moralitas para generasi bangsa. Belakangan ini banyak terjadi kasus kejahatan pelecehan seksual terhadap anak, dimana pelakunya adalah anak-anak dan kebanyakan adalah yang dikenal oleh korban. Aktivitas seksual anak remaja yang menyimpang sangat memprihatinkan karena telah mengarah pada tindakan kriminal yang secara hukum pidana telah menyalahi ketentuan undang-undang. Pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak bukanlah suatu kasus baru dalam masyarakat, kebanyakan pelaku kejahatan seksual itu adalah orang dewasa meski tidak sedikit pelakunya adalah anak-anak usia remaja sampai menjelang dewasa.[3]

Korban yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami hal yang sangat serius secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal, korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual, kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu, korban berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat terjadi pelecehan seksual maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis jangka pendek maupun jangka panjang. Proses penyembuhan korban dari trauma pelecehan seksual ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima.

2. Diversi dan Restorative Justice

Penulis sagat prihatin terhadap beberapa peristiwa yang muncul sehubungan dengan proses hukum atas kasus pelecehan seksual dimana sang korban dan pelakuknya adalah anak-anak. Pembelaan terhadap anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual yang telah menjadi gerakan kolektif yang melibatkan organisasi/aktivis hak-hak anak dan perempuan serta telah menjangkau secara luas elemen-elemem kemasyarakatan lainnya, kerap kali tergelincir dan mengabaikan korban pelecehan seksual yang nota bene juga anak-anak. Pada kasus ini disadari muncul persoalan dilematis akibat perbenturan kepentingan. Disatu sisi, semangat perjuangan kolektif bagi perlindungan anak dan perempuan dalam membela anak pelaku tidak pidana pelecehan seksual telah menjadi gerakan besar dengan tuntutan hukuman seringan-ringannya bagi para pelaku yang dijadikan sebagai salah satu indikator cerminan keadilan anak sebagai upaya pencegahan untuk pelaku dan calon pelaku lainnya menjadi pelaku kriminal dewasa. Sedangkan disisi lain, diantara para korban terdapat anak-anak sebagai korban kejahatan seksual yang dapat juga dikatagorikan sebagai anak yang hak-haknya harus dilindungi.

Disini penulis ingin mengingatkan kembali tentang pemahaman terhadap konsep diversi dan restorative justice yang selalu dijadikan acuan bagi sebagian aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam menyelesaikan dan mengambil putusan terhadap perkara kesusilaan antar anak. Kapan dan bagaimana seharusnya diversi dan restorative justice dapat diterapkan dalam penanganan perkara anak nakal?

2.1. Diversi

Kritikan terhadap efektifitas penjara telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam mencari alternatif hukuman untuk anak selain penjara. Kebutuhan akan adanya alternatif hukuman selain pemenjaraan anak telah menjadi perbincangan panjang di berbagai negara termasuk Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan itu, di banyak negara dimulai dengan perubahan pendekatan keadilan ke arah pendekatan kesejahteraan. Perampasan kebebasan atau pemenjaraan anak dianggap tidak mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak lantaran menyangkut stigmatisasi yang muncul di masyarakat dan dampak digunakannya pendekatan pemenjaraan. Pendekatan-pendekatan dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum telah banyak dieksplorasi dan dibandingkan antara pendekatan satu dengan lainnya. Berbagai pendekatan alternatif pun muncul dewasa ini dan sudah banyak digunakan oleh beberapa negara dalam menangani juvenile delinquency. Pendekatan alternatif penanganan anak yang bermasalah dengan hukum telah digunakan oleh beberapa negara antara lain Diversion dan Restorative Justice.

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960 (Cunneen and White, 1995; 1). Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 97courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).[4]

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi.

Ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu:
1. Pelaksanaan kontrol secara social (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan social oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku (Kratcoski, 2004; 160).

Terhadap pelaksanaan program diversi diatas, penulis berpendapat polisi adalah pihak pertama yang merupakan titik persinggungan dengan anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, pelaku tindak kejahatan maupun sebagai saksi. Polisi sebagai penyidik Polri harus lebih peka terhadap prosedur, pelaporan dan penyerahan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diversi dan Restorative Justice adalah alternative lain yang dapat dilakukan oleh Polisi terhadap bentuk pemidanaan terhadap anak yaitu sanksi pidana non panel (tindakan), dengan berpedoman pada:
a. katagori tindak pidana yang dilakukan anak yang diancam sanksi pidana s/d 1 (satu) tahun dapat diterapkan diversi,
b. katagori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana diatas 1 (satu) tahun s/d 5 (lima) tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi (terhadap perkara pidana ringan), dan
c. anak kurang dari 12 (dua belas) tahun dilarang untuk ditahan dan penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep restorative justice (tetap harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku anak).

2.2.  Restorative Justice

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) sangat mendorong penggunaan metode restorative justice dalam peradilan anak. Penerapan prinsip restorative justice ini agar keseimbangan dalam masyarakat tidak terganggu, sehingga gangguan kepentingan pelapor, korban dan masyarakat itu terpenuhi. [5]  Manfaat restorative justice sendiri antara lain untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dan kesadaran publik dalam upaya menyelesaikan persoalan anak yang bermasalah dengan hukum; membuat pelaku bertanggung jawab atas tindakannya dan membuat pelaku memahami dampak atas tindakannya serta berusaha memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan; membantu meminimalkan tingkat kejahatan karena tujuan utama restorative justice adalah pemulihan sedangkan pembalasan adalah tujuan kedua.

Restorative justice adalah suatu proses ketika semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa mendatang. Keadilan untuk anak, adalah bagaimana restorative justice itu diterapkan”.[6] Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku.

Seluruh negara di Eropa memiliki peraturan perundang-undangan tentang juvenile justice yang secara umum mendasarkan pada pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Dengan pendekatan ini, para pelanggar usia anak sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh sistem peradilan pidana serta segala tindakan yang akan diambil oleh negara dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anak tersebut sedapat mungkin mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.[7]

Terdapat lima macam pendekatan yang bisa digunakan dalam menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu:
1.      pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak,  
2.      pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum,  
3.      pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata, 
4.      pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman dan
5.      Pendekatan penghukuman yang murni bersifat retributif.

Adanya kelima bentuk pendekatan tersebut, tidak terlepas dari pertentangan antara dua pendekatan dominan dalam menangani juvenile delinquency, yaitu pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan keadilan (yang lebih tua) dan juga mencerminkan perubahan atau dinamika pemikiran masyarakat dalam memberikan respon terhadap pelaku pelanggaran usia anak. Jika pendekatan kesejahteraan merepresentasikan keinginan Pengadilan untuk mendiagnosa masalah utama yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku pelanggaran dan memperlakukan anak tersebut seperti mengobati anak, pendekatan keadilan merepresentasikan perhatian tradisional dari hukum yang bertujuan menghukum pelaku pelanggaran menurut derajat atau keseriusan atas akibat yang ditimbulkannya.

Restorative justice berbeda dengan peradilan pidana biasa dalam beberapa hal. Pertama, melihat tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran hukum semata, namun memahami bahwa pelaku merugikan korban, masyarakat bahkan dirinya sendiri. Kedua, restorative justice melibatkan banyak pihak dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas permasalahan pemerintahan dan pelaku kejahatan, melainkan permasalahan korban dan masyarakat. Terakhir, restorative justice mengukur kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak hanya dari seberapa besar hukuman yang dijatuhkan, namun juga mengukur seberapa besar kerugian yang dapat dipulihkan atau dicegah.

Mengingat prinsip dasar dalam menangani permasalahan anak adalah demi tercapainya kepentingan yang terbaik untuk anak. Maka pendekatan restorative justice adalah salah satu alternatif yang dipandang baik dalam mencapai kepentingan tersebut. Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar Pengadilan. Khusus untuk Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH), restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Dalam prosesnya, restorative justice tersebut akan melibatkan korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya, wakil masyarakat, dan didukung oleh lembaga swadaya masyarakat. Para pihak secara bersama-sama melakukan musyawarah pemulihan dengan putusan sebisa mungkin tidak bersifat menghukum dan lebih mengedepankan solusi dengan memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban, dan masyarakat.

Ada empat kriteria kasus AKH yang dapat diselesaikan dengan model restorative justice. Pertama, kasus itu tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak itu baru pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga, kasus itu bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup, dan keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan. Namun, apabila seorang anak yang dilaporkan dan ditangkap untuk tindak pidana ringan, misalnya karena mengutil/pencurian ringan, perkelahian ringan, tidak usahlah dipenjara, cukup panggil orangtuanya dan dinasihati. Penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan Hakim pun tidak perlu menjatuhkan hukuman. Untuk kasus itu seharusnya tidak apa-apa jika pihak penegak hukum melakukan diskresi (mengambil sikap sendiri).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa adanya upaya pelaksanaan diversi dan  restorative justice ini tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhi putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua, karena Hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu yang telah penulis uraikan diatas. Tegasnya, diversi dan restorative justice adalah hanya sebagai upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa “penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir” terhadap perkara-perkara anak yang ringan saja.

Setelah penulis menguraikan apa yang terkandung dalam konsep diversi dan restorative justice dalam penanganan perkara anak (dalam kasus tertentu), maka Hakim dalam mengambil keputusan dalam penanganan perkara kesusilaan antar anak (anak pelaku dan anak sebagai korban) juga bisa lebih memperhatikan keadilan bagi anak sebagai korban pelecehan seksual antar anak.

3.    Putusan Hakim dalam melindungi hak-hak anak sebagai korban pelecehan seksual antar anak

Meski berdasarkan pemberitaan media masih didapatkan kesan kuat bahwa anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual semakin meningkat, tampaknya perhatian dan kepedulian pada kelompok ini juga masih terabaikan oleh para aktivis hak-hak anak dan penegak hukum. Dengan kata lain, kita tentunya dapat dengan mudah membayangkan bagaimana perhatian publik terhadap mereka. Organisasi atau aktivis hak-hak anak dan penegak hukum yang bekerja untuk memberikan bantuan hukum, monitoring dan menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak yang menjadi korban pelecehan seksual, sejauh ini bisa dikatakan belumlah maksimal.

Permasalahan yang semakin berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan yang bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat, orangtua dan penegak hukum. Penyelesaian permasalahan tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban. Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang hak-Hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam universal declaration of human right tahun 1958. Bertitik tolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan declaration of the rights of the child (deklarasi Hak-Hak Anak). Perlakuan bagi anak yang berorientasi terhadap perlindungan hak-hak bagi anak sudah merupakan kewajijban bagi seluruh bangsa terutama para aparat penegak hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut merupakan jaminan pelaksanaan hak-hak anak dibidang hukum.

Perlindungan anak yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini adalah Perlindungan Anak yang dimaksud dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), yaitu “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Penulis berpendapat bahwa perlindungan hukum terhadap anak adalah segala bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang tidak hanya kepada anak yang berkonflik dengan hukum namun juga terhadap perlindungan bagi korban khususnya korban kekerasan sebagaimana yang di maksud dalam pasal 59 UUPA meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual, yang di lakukan melalui upaya penyebarluasan sosialisasi ketentuan peraturan undang-undang yang melindungi anak korban tindak kekerasan.

Sedangkan Pengertian anak adalah yang terdapat dalam pasal 1 butir 1 dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Penentuan batas usia anak tersebut mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak penentuan batas usia anak secara tegas mencakup anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan”. Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Namun demikian dalam Konvensi Hak Anak tidak secara tegas dinyatakan demikian.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pengertian anak TIDAK dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin”, tetapi didalam Undang-Undang yang lain (UU Kesejahteraan Anak dan UU Pengadilan Anak misalnya) pengertian anak dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin”. Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat jelas terlihat bahwa UUPA dalam menentukan batas usia anak menginginkan agar undang-undang ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang belum kawin dimana persyaratan tersebut lebih menekankan pada segi legalistiknya, sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak  penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkontak dengan system peradilan pidana karena: a). disangka, didakwa atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau b). telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/Negara terhadapnya, atau c). telah melihat, mendengar, merasakan atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum. Sekarang, bagaimana dengan penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur?

Seperti yang penulis utarakan diatas bahwa perlindungan terhadap anak di Indonesia telah dijamin keberadaannya oleh konstitusi yang telah mengamanahkan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam bentuk seksual. Sebagaimana tercantum dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan adanya jaminan dalam konstitusi UUD 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dengan demikian, berdasarkan pasal 28B ayat (2) UUD 1945, negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk melindungi anak sebagi bagian dari warga negara yang harus terus dipelihara masa depannya.

Jaminan perlindungan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, terjabarkan dalam peraturan perundangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran” (Pasal 59 UUPA). Perlindungan khusus ini dilaksanakan melalui pasal 64 ayat (2) UUPA yang dilaksanakan melalui:
a.  Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak – hak anak;
b.  Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c.  Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d.  Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga, dan
g.Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan  Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan /atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Undang-Undang  memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam  semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada dalam Pasal 3:
1. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2. rasa aman;
3. keadilan;
4. tidak diskriminatif; dan
5. kepastian hukum.

Konvensi Hak Anak juga memberikan jaminan perlindungan (Khusus) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini terkandung dalam pasal 37 mengenai penyiksaan dan perampasan kebebasan. Secara ringkas manyangkut, “ larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan. Prinsip-prinsip penanganan yang tepat, pemisahan dari tahanan dewasa, hubungan dengan keluarga dan akses terhadap bantuan hukum serta bantuan lainnya.“

Berdasarkan hal tersebut diatas, bila dikaitkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun sebagai pelaku wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah dan tidak boleh ada diskriminasi. Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupun secara mental spiritual dan sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi tanggung jawab pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya, begitu pula sebaliknya terhadap seorang anak yang menjadi pelaku tindak pidana.

Terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak perlu ditangani dengan seksama melalui sistem peradilan pidana anak. Sistem yang dimaksud adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas[8], yang terdiri dari: a). Substansi Hukum (Legal Substance) berkenaan dengan isi/materi hukum yang mengatur tentang peradilan anak. b). Struktur Hukum (Legal Structure) menyangkut badan/lembaga yang menangani peradilan anak, yang terdiri dari: Badan Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, lembaga Pemasyarakatan, Penasehat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Lembaga Sosial Masyarakat dll. c). Budaya Hukum (Legal Culture) berkaitan dengan resepsi dan aspirasi masyarakat tentang hukum yang sangat ditentukan oleh tata nilai, keyakinan atau sistem social, politik dan ekonomi yang hidup dalam masyarakat.  

Sistem peradilan anak itu sendiri sebenarnya sudah baik, namun baik buruknya sebuah sistem tetaplah terpulang kepada kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum (the best interest of the Childern). Salah satu institusi pemerintah yang relatif banyak berhadapan langsung dengan anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah institusi Pengadilan, hal ini karena kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di Pengadilan. Pada saat penyelesaian kasus di Pengadilan inilah anak yang menjadi korban tindak pidana dan pelakunya berinteraksi dengan Hakim baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama proses peradilan tersebut Hakim di Pengadilan mempunyai kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, telah ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara anak pada sidang Pengadilan Anak. Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh KUHP, yang penjatuhan pidananya ditentukan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana terhadap orang dewasa, sedangkakn penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang tersebut ditentukan berdasar perbedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah beusia di atas 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana (Soetodjo, 2006,hal 3).

Terkait dengan penjatuhan hukuman, bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana pokok (pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan) dan pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi (pasal 23, UUPA) dan tindakan yang dapat dijatuhkan adalah; a) mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh; b) menyerahkan pada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, dan; c) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang Pendidikan, Pembinaan dan latihan kerja (pasal 24).

Sedangkan bagi anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut Undang–undang maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2.b) Hakim hanya menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 24 saja. Terkait dengan kejahatan seksual yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan ke anak adalah pidana pokok, pidana tambahan, pidanan denda atau pidana pengawasan atau tindakan saja. Secara umum, pidana penjara atau pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (lihat pasal 26 ayat 1 dan pasal 27), atau apabila diancam tindakan pidana mati atau penjara seumur hidup, pidana penjara yang dapat dijatuhkan ke anak paling lama 10 tahun (pasal 26 ayat 2).

Hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu Hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Seorang Hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruhi dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan. Dalam mengambil keputusan dalam tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh anak, Hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda dengan pengambilan keputusan kekerasan seksual biasa atau terhadap orang dewasa. Hal ini menyangkut umur korban dan pelaku yang belum dewasa sehingga secara tidak langsung pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak telah menghancurkan atau merusak masa depan korban, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis korban yang masih labil. Korban yang seharusnya masih dapat berkembang menjadi terbebani karena masalah tersebut sehingga korban menjadi pesimistis dalam menjalani hidup dan tidak dapat menjalani hidupnya serta menikmati indahnya masa-masa anak seperti anak-anak seusianya.

Pertimbangan Hakim selayaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: pembuktian terdakwa, dan apakah telah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dari hasil pemeriksaan sidang. hukuman yang patut dijatuhkan kepada terdakwa, serta apakah putusan yang akan dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya. Disamping hal tersebut pertimbangan Hakim juga harus meliputi pertimbangan latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan sesuai dengan nilai sosiologis, filosofis, maupun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hakim dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut seringkali Hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis Hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya menyangkut perkara-perkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan di lingkungan Pengadilan masih sedikit ditemukan putusan Hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji secara akademik bagi pengembangan hukum.

Putusan dari Hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para Hakim dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang dicantumkan dalam setiap putusan Hakim, khususnya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selama ini menurut penulis masih ada Hakim dalam mengambil keputusan terhadap pekara pemerkosaan yang dilakukan anak hanya ditegakkan pada nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus pemerkosaan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan, hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban.

Yang masih disayangkan adalah dalam perkara pemerkosaan yang dilakukan oleh anak, Hakim cenderung lebih mengutamakan perlindungan terhadap anak sebagai pelaku (yang diatur dalam UUPA),  sehingga perlindungan anak sebagai korban terabaikan (yang juga diatur dalam UUPA). Sebagai contoh perkara kesusilaan yang dilakukan oleh beberapa orang anak dibawah umur (pelakunya berjumlah 6 orang yang berusia antara umur 8 th sampai dengan 10 th) terhadap anak yang berusia 6 th. [9] Walaupun pada akhirnya putusannya adalah berupa tindakan dimana para pelaku dikembalikan kepada orangtua sesuai dengan pasal 26 ayat (4) UU No. 3 tahun 1997: “bahwa anak nakal yang belum mencapai umur 12 (duabelas) tahun melakukan tindakan pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997”. Namun masih ada pro dan kotra terhadap putusan ini, terutama terhadap korban dimana korban dan keluarganya mengalami trauma yang sangat besar dan korban merasa masa depannya sudah hancur karena korban sudah tidak perawan lagi. Bahkan akibat putusan ini korban dan keluarganya harus pindah dari rumahnya dikarenakan rasa malu yang amat sangat. Dimana keadilan buat korban ???

Meskipun demikian menurut penulis, Pengadilan perlu memberikan sanksi yang paling tepat pada anak-anak yang melakukan tindak pidana terutama kejahatan seksual. Pemberian atau penjatuhan hukuman dalam perkara anak-anak mempunyai tujuan edukatif dalam pemberian sanksi pada anak. Untuk itu meski tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dikenakan pertanggung jawaban pidana atau jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Indonesia menanamkan dan memegang teguh prinsip kesamaan dihadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan begitu jelas dan tegas. Para Hakim ditugaskan untuk menjalankan tugas-tugas dengan adil dan tidak berpihak. Sanksi pidana mengenai pemerkosaan terhadap anak diatur pula di luar KUHP yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan tersebut dalam pasal 81 yaitu sebagai berikut:
(1)     Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)     Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Penulis berharap, seyogyanya Hakim dalam menjatuhan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seharusnya memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu perbuatan tersebut baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari korban, sehingga dalam putusannya dapat memuaskan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.

Selain anak mendapat kesempatan mengganti kesalahan dengan berbuat baik pada si korban dan memelihara hubungan dengan keluarga korban. Pada akhirnya anak diberi kesempatan untuk rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidananya. Namun demikian seorang Hakim tetap harus memperhatikan kemampuan pertanggung jawabkan pidana pelaku kejahatan dalam menjatuhkan hukuman. Jangan ada keraguan dalam menjatuhkan hukuman bagaimanapun juga suatu kejahatan harus mendapat imbalan atau hukuman yang sepantasnya, karena hukuman selain dijadikan suatu balasan atas kejahatan dapat juga sebagai perbaikan dan pencegahan akan semakin maraknya tindak kejahatan.

Untuk mendukung upaya tersebut menurut penulis, harus ada perubahan cara pandang secara menyeluruh terhadap perkara tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dengan korban dibawah umur sehingga anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku mendapatkan hak-haknya secara adil dan bijaksana sesuai dengan undang-undang yang berlaku sehinga kita semua dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak.

C.  PENUTUP

1.    Kesimpulan
 -       Upaya alternatif “diversi dan restorative justice” dapat ditempuh oleh Polisi, Jaksa dan Hakim dalam menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum terhadap perkara-perkara ringan.
-       Upaya diversi ini dapat dilakukan dengan menggunakan kewenangan diskretioner (diskresi) yang dimiliki Kepolisian terhadap perkara-perkara ringan yang dilakukan oleh anak. 

2.    Saran
-       Perlu adanya upaya untuk menjalin kerjasama yang positif, baik dengan instansi pemerintah maupun dengan LSM sebagai bagian dari upaya aparat penegak hukum dalam melakukan diversi dan restorative justice. Sehingga diversi dan restorative justice dapat dipromosikan dan dikembangkan sebagai solusi penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum.
-       Perlu adanya peningkatan pengetahuan Polisi khususnya Penyidik Anak tentang akses negatif dari penyelesaian masalah anak melalui sarana Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP). Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskresi sebagai langkah positif.
-       Hakim dalam mengambil keputusan terhadap perkara-perkara anak yang berkonflik dengan hukum tidak hanya memperhatikan keadilan bagi anak sebagai pelaku tetapi juga anak sebagai korban (khususnya tidak pidana berat yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai korban).



*     Hosianna M Sidabalok, S.H., M.H.
[1]     B. Simandjuntak, 1981, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, hal. 71
 [2]     Ibid, hal. 72
[3]     Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial II (kenakalan Remaja), Jakarta: CV. Rajawali, hal. 8
[4]     Marlina , Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,  Jurnal Equality, 2008, hal 1.
[5]     Pernyataan ketua Mahkamah Agung RI, Dr. M. Hatta Ali, SH,MH.
[6]     Hal tersebut diungkapkan Ketua Mahkamah Agung, Dr. Harifin A. Tumpa, SH, MH, usai menutup Konferensi Regional IACA (International Association Of Court Administrator) Tahun 2011, Istana Bogor, 14 Maret 2011.
[7]     Stewart Asquith, Childern and Young People in Conflict with the law. (ed)., Jessica Kingsley Publishers: London, 1996, hal 169
[8]     Prof.Dr.C.E.G.Sunaryati Hartono, SH., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni 1991, Lilik Mulyadi, SH, MH, Pengadilan Anak di Indonesis, Mandar Maju, Bandung, 2005, hal 8-11 Bandung, hal. 56.
 [9]     Perkara Pidana Anak di Pengadilan Negeri Kalianda.

1 komentar: